Sunday, July 30, 2006

World eBook Fair

Menyela review buku untuk pengumuman yang berkaitan dengan ebooks.

World eBook Fair adalah hasil kerjasama Project Gutenberg, World eBook Library, DPP Store, Baen Books, QOOP, dan Ask.com, yang menyediakan 1/3 juta eBook gratis untuk didownload untuk kepentingan pribadi mulai 4 Juli sampe 4 Agustus 2006, dalam rangka memperingati ultah Project Gutenberg yang ke-35. Ada yang tersedia dalam format .txt, ada yang dalam .pdf, ada audiobook, ada .lit, ada .html, dan juga ada emovies, yang tersedia dalam >100 bahasa. Ada fiksi klasik & fiksi kontemporer berbagai genre dari berbagai negara, filsafat, budaya, data survey/sensus (untuk apaan sih ini hehehe), religion, politik, children's lit, CIA-related, ekonomi, sci & tech, sejarah, education, movies, transportasi, dan banyak lagi.

Project Gutenberg didirikan oleh Michael Hart pada tahun 1971 dan merupakan sebuah situs pembuat dan penyedia ebooks yang sudah lewat copyright-nya: mereka mencari, memilih dan memastikan suatu buku sudah lewat masa hak cipta, kemudian men-scan buku tersebut, dan memajangnya di internet untuk di-proof oleh para volunteer Project Gutenberg. Project Gutenberg menyediakan 18.000 ebooks gratis dalam format .txt dan .pdf.

World eBook Library, yang didirikan tahun 1996, menyediakan >300.000 ebooks dalam format .pdf. Untuk mendapat akses komplit, kita diminta membayar biaya langganan 8,95 dollar setahun. Murah, kan? Untuk akses gratis, disediakan 75000 lebih ebooks dalam format .html.

DPP Store adalah toko ebooks "dengan harga terjangkau", tetapi juga menyediakan free ebooks (diambil dari Project Gutenberg).

Baen Books, didirikan oleh Jim Baen (Alm) pada tahun 1984, pada awalnya adalah penerbit untuk buku-buku bergenre sci-fi dan fantasi, dan kemudian juga menyediakan buku dalam versi ebooks, dan merupakan salah satu penerbit yang menentang keras DRM. Mereka juga menyediakan beberapa ebooks gratis, semacam "icip-icip" dari para penulis yang tergabung dalam Baen Books, dan jangan kira hanya 1-2 bab saja, tapi 1 buku lengkap!

Sejak beberapa tahun lalu, aku mulai tergila-gila dengan ebooks, etexts, emags, scanlations, pokoknya segalanya yang berbentuk digital, bukan paper. Bukan berarti aku tidak lagi membeli buku "beneran" yang bisa disentuh: malahan sebaliknya, makin kemaruk hehehe...

Ebooks (dalam artikel ini, ebooks yang dimaksud termasuk juga yang ilegal) memang mempunyai kelebihan dibanding paper-books:

  1. tidak memakan tempat (dalam kehidupan nyata). Kalo memakan harddisk space sih iya, tapi berapa sih maksimal ukuran 1 ebook? Selemari besar buku tidak akan memenuhi 1 harddisk seukuran 40 GB, walau tergantung pada jenis file ebooks-nya.

  2. tidak bakal berdebu, tidak akan menguning/robek/hancur terbakar. Untuk yang terakhir ini, kecuali kalau tempat penyimpanan ebooks-nya rusak. Tapi untungnya ebooks bisa dikopi dan disimpan di banyak tempat: komputer, PDA, e-reader, flashdisk, harddisk eksternal, card, dan kalau Apple jadi mengeluarkan iPOD yang bisa baca ebooks, di iPOD juga.

  3. mudah dicari. Tinggal di-search aja judulnya, bisa langsung dapet. Kalau dibanding perpustakaan (pbooks) di rumahku yang bisa dibilang berantakan karena hanya dikelompokkan menjadi fiksi dan nonfiksi, bahasa Indonesia dan non-bahasa Indonesia, rada sulit juga mencari judul terntentu :D.

  4. kalo temen pengen baca juga, tinggal dikopikan (oke, ini ilegal kalo masih dalam copyright). Termasuk untuk teman yang lokasinya terpisahkan lautan, tinggal dikirimkan saja via email atau pake software P2P. Tidak akan ada lagi kemungkinan adanya rasa sebal pada teman karena teman merusak atau menghilangkan pbooks kesayangan kita. Juga meningkatkan kemungkinan "trading". Kalo pbooks kan suka sayang kalo ditukar dengan sesuatu yang tidak senilai.

  5. ada ribuan ebooks gratis di internet yang bisa didownload. Kalau yang ilegal dihitung, bisa berjuta-juta jumlahnya. Sampai mati pun tidak akan selesai membacanya.

  6. kalo belum masuk atau dilarang edar di Indonesia, atau kalo buku itu sudah tidak dicetak lagi, atau sulit dicari, tinggal request saja di forum-forum ebooks. Tanpa biaya.

  7. bisa men-"cicip"-i dulu sebelum beli. Kalo memang bagus, yang namanya manusia pasti punya hasrat memiliki. Kalo ternyata jelek, kan gak rugi beli.

  8. mudah dibawa ke mana-mana dalam jumlah banyak. Kita kan cenderung membaca beberapa buku sekaligus dalam satu waktu. Kalau bosen buku satu, bisa pindah baca yang lain. Apa? Kalian tidak? Oh, ok, mungkin aku saja yang punya short attention span.

  9. untuk buku yang harganya tidak rasional, apalagi orang Indonesia kan banyak yang tidak mempunyai penghasilan yang sebanding dengan hobi baca bukunya (percayalah, pendapat yang mengatakan bahwa orang Indonesia itu minat bacanya rendah adalah pendapat yang salah), bolehlah mendapatkannya via ebooks :)

  10. menghemat hutan. Tidak perlu menebang kayu untuk membuat ebooks.


Tentu ada kerugiannya (yang menurutku begitu remeh-temeh dibanding keuntungannya yang berlimpah-limpah):
  1. tidak seperti pbooks, ebooks memerlukan alat untuk membacanya. Sebuah komputer desktop biasa sudah cukup. Sekarang komputer sudah dimiliki hampir setiap keluarga yang punya anak usia sekolah. Tentu saja membaca ebooks di layar komputer besar itu kurang nyaman. Tetapi, semakin nyaman alatnya untuk membaca dan semakin portable, semakin mahal pula harganya.

  2. mata cepat lelah. Walau kalau dipikir2, membaca pbooks kelamaan mata juga jadi sakit, tapi memang membaca di layar komputer/PDA membuat sakitnya mata karena 2 hal: kedipan monitor dan kelamaan membaca. Tentu kalau e-reader yang katanya pakai teknologi E-Ink yang nyaman di mata sehingga serasa membaca buku "beneran" sudah tersedia secara komersial dan harganya sudah turun -mungkin perlu 10-15 tahun lagi- maka kerugian yang satu ini bisa diabaikan.

  3. ada macam-macam format yang memerlukan berbagai software pembaca ebooks yang berbeda pula. Sebagian besar software sudah dimiliki secara standar di komputer kita (buat yang pake OS Windows), seperti Notepad/Wordpad, MS Word, Adobe Acrobat Reader, browser, WinAmp, tapi beberapa format ebooks memerlukan software khusus, seperti MS Reader, Mobipocket, dan lain-lain. Belum kalo hardware yang dipakai adalah PDA atau e-reader, tambah ruwet lagi, karena masing-masing hanya mampu membaca ebooks/emags berformat tertentu.

  4. ebooks non-klasik harus dibeli, dan harganya mahal. Untuk ebooks yang didapat secara ilegal, well, sudah jelas, kita melanggar hukum. Ini bukan berarti aku kontra dengan ebooks ilegal hehehe... Aku memandang ebooks ilegal sebagai sarana promosi yang tidak disadari oleh para penulis buku. Para pembaca buku tetaplah manusia biasa, yang membutuhkan bau buku baru dan sentuhan kasar kertas untuk menjadi puas. Belum prestise yang dimiliki kalau bisa memamerkan koleksi buku-bukunya yang keren pada para kolega atau teman. Kalau mereka menganggap buku itu bagus sesudah membacanya via ebooks, mereka akan membelinya begitu punya duit. Aku dan beberapa teman juga menganggap situs penyedia ebooks ilegal sebenarnya adalah Robin Hood di bidang perbukuan. Mereka memungkinkan para masyarakat tidak mampu untuk memperoleh bacaan bermutu hehehe...

Sunday, July 23, 2006

Monster Mission


Eva Ibbotson
Diterjemahkan menjadi Misi Monster
Penerjemah Poppy Damayanti
Gramedia, Jakarta, 2005
ISBN 979 22 1627 8
312 halaman

Membaca buku satu ini benar-benar melelahkan. Untuk ukuran buku setipis ini (tulisannya besar-besar, lo), aku butuh sebulan baru selesai. Tapi itu mungkin juga karena aku sekaligus membaca buku-buku yang lainnya (kemaruk hehehe...).

Gambar depannya tidak begitu menarik, aku membeli buku ini hanya karena ada nama Eva Ibbotson di depan. Eva Ibbotson adalah penulis cerita anak kelahiran Austria (sekarang tinggal di Inggris). Bukunya yang paling kusuka adalah Which Witch? (diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia dengan judul Penyihir Mencari Istri), kocak banget!

Cerita dimulai dengan usaha 3 orang bibi, yaitu Bibi Etta, Bibi Coral, dan Bibi Myrtle, untuk menculik masing-masing 1 anak, untuk disiapkan menjadi "ahli waris" pulau mereka yang terpencil beserta hewan-hewan berbagai jenis yang ada di pulau tersebut. Usaha ini tercetus gara-gara mereka menonton TV (entah dari mana dapet sinyalnya, kan terpencil) dan melihat berbagai peristiwa buruk yang terjadi pada bumi, serta kepunahan berbagai flora dan fauna, penebangan hutan, pencemaran laut, dan macam-macam lagi. Mereka kuatir pulau berserta hewan-hewan langka yang mereka pelihara, dan mungkin juga diri mereka sendiri, akan segera punah. Hmm, belum-belum kisahnya sudah serasa menggurui. Baru awalnya saja, aku sudah yakin buku ini tidak akan seasik buku-buku Eva Ibbotson lainnya.

Bibi Etta berhasil menculik Minette, anak yang kesepian dari pasangan Danby yang sudah bercerai, yang merasa lelah harus bolak-balik berpindah-pindah tempat tinggal, kadang ikut ayahnya, kadang ikut ibunya. Bibi Coral menculik Fabio, anak laki-laki dari ayah berkebangsaan Inggris dan ibu dari Amerika Selatan. Ketika ayahnya meninggal, sesuai wasiat ayahnya, ia harus tinggal bersama kakek-nenek dari pihak ayahnya di Inggris, dan dididik dengan keras untuk menjadi pria Inggris yang terhormat. Sementara itu, Bibi Myrtle "terpaksa" menculik Lambert, putra tunggal Mr Sprott yang kaya raya.

Sesampai di pulau, Minette dan Fabio dengan segera menyesuaikan diri. Setelah merasa sebal beberapa saat gara-gara diculik dan kemudian diharuskan bekerja keras mengurus pulau dan hewan-hewan sakit dan sehat (kambing, sapi, ayam, itik, anjing laut, burung puffin, ubur-ubur, belut, dan lain-lain) di pulau, mereka kemudian mulai merasa kerasan, sehingga para bibi akhirnya menganggap mereka siap diperkenalkan pada hewan-hewan yang "tidak biasa".

Ada Ursula, Queenie, Loreen, Oona, Walter, para putri dan putra duyung yang datang ke pulau minta tolong setelah terjebak lapisan minyak di laut lepas. Ada Herbert dan ibunya, mereka adalah selkie, anjing laut yang dianggap sebagai penjelmaan manusia: mereka akan berubah menjadi manusia bila ditusuk dengan pisau, atau kembali menjadi anjing laut bila mendapat 7 tetes air mata di bawah sinar bulan. Kemudian juga burung boobrie yang hampir bertelur, tapi telurnya macet. Suami burung ini sangat pelupa dan sudah lama pergi meninggalkan istrinya. Kemudian ada Ethelgonda, hantu wanita pertapa yang baik hati penjaga pulau (Fabio berkata, "Kukira orang-orang baik tidak menjadi hantu.") Juga ada cacing stoor, naga tanpa sayap berbadan panjang ("sepanjang kereta api") dari Islandia yang suka memikirkan hal-hal prinsipil seperti "kemana perginya hari kemarin?" dan nafasnya sangat bau sehingga harus terus mengulum permen peppermint.

Bagaimana dengan Lambert? Anak manja ini terus berteriak-teriak meminta ponselnya, mengancam akan melaporkan mereka ke polisi, mengharapkan mereka semua "terbujur mati dalam genangan darah mereka sendiri", melempar-lempar makanan yang disediakan Art (koki, yang dulunya adalah pembunuh), tidak mau membantu yang lain membereskan pulau, dan histeris melihat makhluk-makhluk langka.

Sementara itu di London, akhirnya para orang tua, kakek-nenek, dan ayah menyadari bahwa anak/cucu mereka hilang, dan menurut keterangan yang diperoleh polisi, kelihatannya segerombolan bibi berwajah mengerikan yang menculik mereka. Hebohlah London, Perburuan Bibi dimulai. Orang-orang muali merasa melihat para bibi pembunuh di mana-mana. Seorang bibi yang mencoba mengusir lebah yang mencoba menyengat seorang bayi ditangkap karena dilaporkan berusaha "menusuk bayi dengan jarum rajut raksasa". Seorang bibi lain yang sedang mengajari keponakannya cara menendang bola ditangkap polisi gara-gara oleh saksi mata terlihat "menendangi kepala anak laki-laki yang tergeletak di rumput". Parlemen meminta adanya jam malam untuk para bibi. Surat kabar menuntut para bibi dipasangi alat elektronik.

Mr Sprott yang serakah dan kaya raya berusaha mencari anaknya sendiri dengan bantuan kapal besarnya. Hal ini bertepatan dengan kedatangan makhluk yang luar biasa ke pulau, seekor kraken beserta anaknya. Kraken adalah makhluk "ancient" yang berenang keliling dunia memelihara lautan dan seisinya dari kerusakan. Nyanyiannya, Senandung Agung, mampu menentramkan hati yang mendengarnya, dan mengurungkan niat para perusak laut.

Apakah Mr Sprott berhasil menemukan pulau terpencil tersebut? Perjalanan Mr Sprott menjadi kisah tersendiri yang kocak *grin* Apakah yang akan dilakukan Mr Sprott kalau melihat banyaknya hewan langka di pulau? Apa yang terjadi pada para bibi, Minette, dan Fabio? Bagaimana nasib kraken dan anaknya?

Berbeda dengan Roald Dahl, buku-buku Eva Ibbotson selalu berakhir dengan happy ending, bahkan kadang termasuk untuk tokoh jahatnya. Buku ini, ujungnya bisa ditebak. Walau aku tidak menyarankan untuk membeli buku ini, karena ceritanya biasa banget, tetapi untuk dibaca cukup lucu, kok, khas humor Eva Ibbotson, yang mengolok-olok prasangka dan keegoisan manusia.

Thursday, July 13, 2006

Pinokio


Carlo Collodi
Diterjemahkan dari Pinocchio: Tale of A Puppet
Diterjemahkan oleh Wiwin Indiarti
Illustrasi oleh William D Kuik
Liliput Jogjakarta, 2005
ISBN 9793813024
282 halaman

Siapa yang tidak tahu kisah Pinokio, salah satu dari classic children literatures yang paling terkenal? Sebegitu populernya, sehingga istilah hidung memanjang sudah dipahami sebagai berbohong. Sejak kecil kita sudah membaca atau menonton filmnya. Paparan pertamaku pada Pinokio adalah dengan buku cerita bergambar berukuran sebesar majalah. Gambarnya berwarna dan bagus sekali, sayang tidak tahu siapa penerbitnya (kelihatannya terjemahan), dan sekarang juga entah kemana raibnya buku itu. Yang jelas buku yang kubaca dulu berbasis pada Pinokio versi Disney.

Dari buku itu, aku kenal Pinokio sebagai boneka kayu yang baik hati, tetapi ditipu oleh pemilik sirkus Stromboli dan kemudian oleh serigala jahat Foulfellow dan kucing tolol Gideon, kemudian juga oleh orang (lupa namanya) yang membawanya naik kereta yang ditarik keledai (oh they are so adorable!) ke Pulau Kesenangan. Di rumah Geppetto, Pinokio tinggal dengan Jimini Jengkerik (makhluk keren berjas tuxedo, topi tinggi dan payung sebagai tongkatnya) yang oleh Ibu Peri dijadikan penjaga hati Pinokio, kucing bernama Figaro, dan ikan mas bernama Cleo, semuanya kemudian pergi bersama Geppetto mencari Pinokio, sampai tertelan oleh ikan paus. Di Pulau Kesenangan, Pinokio digambarkan memegang cerutu, berjalan di jalanan yang di sepanjang tepinya berjajar-jajar es krim raksasa (jaman dulu kan jarang bisa beli es krim, jadi dulu suka betul memandangi gambar ini) dan kue-kue raksasa. Pinokio banyak ditolong oleh Ibu Peri yang disebut Peri Biru. Peri ini pulalah yang kemudian mengubahnya menjadi manusia.

Tetapi bukan cerita indah seperti itu yang ada pada buku ini. Ternyata, buku Pinokio untuk anak-anak itu telah diadaptasi biar tidak terlalu menyedihkan. Bagaimanakah sebenarnya kisah Pinokio?

Cerita dimulai dengan seorang tukang kayu yang mendapatkan bahwa sepotong kayu yang akan dijadikannya kaki meja ternyata bisa berbicara. Tidak hanya itu, kayu itu juga bisa bergerak sendiri memukul tukang kayu dan Geppetto yang saat itu datang ke rumahnya, memicu perkelahian antara mereka. Kayu itu kemudian diberikan pada Geppetto untuk dijadikan boneka. Boneka yang kemudian diberi nama Pinokio itu sudah kurang ajar sejak awal: melotot, menertawakan, menjulurkan lidah, mengambil wig, menendang, melarikan diri, bahkan mengakibatkan Geppetto masuk penjara. Hidungnya sudah panjang (dan tidak bisa dipendekkan dengan memotongnya) sejak dibuat. Pinokio juga sangat malas. Janji-janji yang dibuatnya berkali-kali dilanggar.

Jimini Jengkerik adalah tokoh yang diperkenalkan dalam film oleh Walt Disney. Di buku ini, Jimini Jengkerik sebenarnya tidak punya nama, dan tidak berpakaian. Jengkerik itu berada dalam bentuk jengkerik yang sebenarnya. Dia muncul beberapa kali, sebagai penasihat, yang tak dipedulikan oleh Pinokio, bahkan dibikin gepeng olehnya dengan palu.

Walau Pinokio sebegitu menyebalkan, Geppetto tetap sabar dan baik padanya (aku tambah sebal). Mulai dari memberikan sarapannya untuk Pinokio, memasangkan kaki baru (kaki lama Pinokio terbakar waktu tidur dengan kaki terjulur ke perapian), menjual jaketnya satu-satunya untuk membelikan buku ejaan, dan macam-macam lagi. Pinokio malah membalasnya dengan menjual buku ejaannya demi menonton pertunjukan boneka.

Karena kebodohannya, Pinokio juga jatuh berulang kali ke tangan si jahat Rubah dan Kucing, yang menipu, mengambil uang, dan menggantung Pinokio di pohon. Ia juga diselamatkan berulang kali oleh Peri berambut biru (mulai dari wujud boneka kecil sampai wanita dewasa). Pendeknya, kekurangajaran, kenaifan, dan kemalasan Pinokio seakan tidak ada habisnya. Tapi pada akhirnya, sesudah mengalami banyak kesengsaraan, Pinokio yang pada dasarnya tidak jahat dan sebenarnya sangat menyayangi Geppetto, akhirnya memperoleh apa yang diinginkannya. Usaha kerasnya untuk menolong Geppetto dari perut ikan paus dan menyembuhkan Geppetto telah menjadikan dirinya pantas menjadi manusia yang sebenarnya, flesh and blood.

Sebegitu panjang, berbelit dan sarat realita brutal semua hal yang harus dialami Pinokio untuk menjadi manusia seutuhnya (caila...), tidak heran oleh media film untuk anak-anak dibuat lebih sederhana dan kurang sengsara dibanding aslinya. Bahkan, di edisi asli Pinokio (yang serial di majalah), cerita berakhir dengan Pinokio mati digantung. Tokoh Peri Biru baru dimunculkan ketika kisah Pinokio dibuat menjadi buku, dimana Peri Biru ini menyelamatkan Pinokio.

Untuk orang dewasa, buku ini terasa agak membosankan, karena kebodohan Pinokio yang serasa berlebihan. Jalan ceritanya terasa absurd. Bukan berarti aku tidak suka cerita yang absurd; Alice in Wonderland, Alice through Looking Glass, buku-buku Kobo Abe, semuanya absurd, tetapi nyaman dibaca. Pinokio ini terlalu berkepanjangan. Buku ini juga sarat dengan allegori dan nasihat.

Ilustrasi buku ini, yang dibuat oleh William D Kuik, agak aneh dan sulit dipahami. Ilustrasinya kadang seperti sketsa gambar untuk komik yang ditumpuk jadi satu. Jadi, misalnya untuk menggambarkan gerakan mengangkat tangan, ada sketsa ketika tangan masih belum diangkat, ketika tangan diangkat sedikit, lalu ketika tangan diangkat lebih tinggi lagi, dst, semua ditumpuk jadi satu. Creepy, kadang-kadang.

Carlo Collodi, aka Carlo Lorenzini (1826-1890), adalah jurnalis, penulis, dan pengamat pendidikan. Pinokio sebenarnya mempunyai judul asli Storia di un burattino (Kisah sebuah Boneka), dan awalnya ditulis secara berseri untuk mingguan anak Il Giornale dei Bambini. Pinokio, dalam bahasa Tuscany berarti "pine nut".

Ada 36 bab dalam buku ini dan judul-judul tiap babnya panjang dan jadi spoiler untuk cerita dalam bab tersebut, persis seperti cerita-cerita klasik jaman dulu. Tidak heran, buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1883 di Italia, dan waktu itu buku ini laku 1 juta eksemplar, bayangkan. Ilustrator aslinya dibuat oleh Attilio Mussino, dan buku edisi pertama ini disebut-sebut sebagai buku anak dengan ilustrasi terbaik.

Pinokio telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 90 bahasa (katanya sih nomor 2 dicetak terbanyak sesudah Quran dan Injil) dan diadaptasi ke dalam 11 film berbahasa Inggris, belum yang dibuat dalam bahasa aslinya, Italia, dan bahasa-bahasa lain. Versi Walt Disney (1940) yang paling terkenal. Dalam versi ini, oleh Walt semua tokoh diubah habis-habisan, mulai penampilan sampai jalan cerita. Melihat Pinokio versi Walt Disney serasa melihat Mickey Mouse, hehehe...: pendek, pipi merah, hidung agak bulat, senyum cerah, pake sarung tangan lagi. Jengkrik dimunculkan sebagai Jimini yang lebih mirip manusia daripada serangga. Keluarga Lorenzini kelihatannya tidak begitu suka Pinokio diubah-ubah seperti ini, tetapi protes mereka diacuhkan. Film ini memenangkan Oscar untuk Best Song dan Best Score (tahu dong lagu When You Wish upon A Star, ini dinyanyikan oleh Jimini Jengkerik aka Cliff Edwards)?

Penerjemahan cukup bagus, kekakuan bahasa mungkin karena terjemahan dari buku klasik yang tata bahasanya memang kaku. Jadi, buat yang mau membeli buku Pinokio dalam bahasa Indonesia, bagus kok.

Sebagian informasi tentang pengarang diambil dari situs Pinokio.

Sunday, July 09, 2006

How to be A Pirate


Hiccup Horrendous Haddock III
Diceritakan kembali oleh Cressida Cowell
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Mutia Dharma
Little K, Bandung, 2006
ISBN 979 3659 64 5
248 halaman

Ini adalah buku kedua dari rangkaian (hopefully) catatan harian Hiccup Horrendous Haddock III, seorang pahlawan Viking dan Ahli Waris Tahta Stoick Agung dari suku Hooligan Berbulu, sesudah catatan hariannya yang pertama tentang How to Train Your Dragon diterbitkan. Tapi tentu saja catatan harian ini dibuat sebelum Hiccup menjadi pahlawan, pada waktu ia masih kecil. Buku ini dibuka dengan salah satu mata pelajarannya dalam Program Pelatihan Bajak Laut, yaitu Adu Pedang di Laut, dengan guru the-one-and-only Gobber the Belch.

Kalau kalian sudah baca buku pertama, kalian tentu tahu bahwa Hiccup adalah karakter yang sangat manusiawi. Hiccup hanyalah anak berusia 11 tahun dengan kemampuan kebajaklautan yang bisa dibilang nol, walau kelihatannya dia dianugerahi oleh kecerdikan, dan, erm, keberuntungan di saat-saat yang genting, selain kebaikan hati dan kesetiaan. Kemampuan kebajaklautan yang harus dimiliki oleh orang-orang Viking tercermin dalam daftar pelajarannya: Adu Pedang di Laut, Meludah, Dasar-dasar Pencurian, Menakuti Orang Asing, Teriakan Maut, Melatih Naga, Hinaan Tingkat Tinggi, Bola Bashy, Persenjataan, Perampokan, Kekejaman Tanpa Ampun, Corat-coret tanpa Guna, dan Mengejjja. Tak satu pun dikuasainya, sementara Snotlout, sepupunya yang berbadan besar dan meyakinkan, adalah yang nomor satu dalam semua mata pelajaran.

Jadi bisa terbayang bagaimana perasaan Hiccup di atas dek kapal di tengah badai dengan tangan memegang pedang pemberian ayahnya dan harus melawan Dogsbreath, yang tak kalah besar dari Snotlout. Tapi, seperti biasa, keberuntungan berpihak pada Hiccup: kapal terbalik, dan Hiccup kemudian harus berpegangan dengan sebuah benda terapung agar tidak tenggelam. Nah, benda inilah yang menjadi sebab-musabab terjadinya kisah dalam buku ini. Benda terapung itu adalah peti mati, yang di tutupnya tertulis bahwa itu adalah peti mati Grimbeard the Ghastly, kakek buyut Hiccup.

Grimbeard the Ghastly digambarkan sebagai bajak laut Viking yang ahli pedang. Suatu hari, Grimbeard tidak kembali dari salah satu ekspedisinya, dan dia hilang membawa harta karunnya yang kabarnya berlimpah-limpah. Itu terjadi 100 tahun yang lalu.

Dan sekarang, peti matinya berada di hadapan keturunannya, kepala suku Hooligan, Stoick the Vast. Walau jelas-jelas di tutup kotaknya tertulis "Awas! Jangan membuka peti mati ini!", rasa ingin tahu membuat peti mati itu akhirnya dibuka, memunculkan seseorang yang misterius bermana Alvin si Petani-Miskin-Tetapi-Jujur. Alvin membawa peta dan teka-teki yang menunjukkan lokasi harta karun Grimbeard. Peta dan teka-teki tersebut membawa para pahlawan Hooligan dan anak-anaknya bertualang ke pulau Tengkorak, tempat Skullions, naga berukuran tinggi lebih dari 3 meter yang buta, tuli, tidak bisa terbang, namun mempunyai indera penciuman yang sangat sensitif, serta mempunyai kebiasaan memakan apa saja yang ditemuinya. Para naga suku Hooligan dibawa, karena naga terkenal mampu membaui emas dan permata, walau terkubur jauh di dalam tanah.

Apakah petualangan mereka berhasil? Apakah ada harta di pulau itu? Dimana dan siapakah yang berhasil menemukan harta tersebut? Apakah mungkin Grimbeard the Ghastly yang terkenal bengis akan membiarkan orang-orang yang bukan pewaris aslinya mengambil hartanya begitu saja? Bagaimana mereka berhasil selamat keluar dari pulau Tengkorak tanpa diamuk oleh gerombolan Skullion?

Dalam petualangan kali ini Hiccup banyak belajar. Dia menemukan kemampuan yang tidak diduganya. Hiccup juga melihat bahwa ayahnya, dan kebanyakan Viking dewasa lainnya, sangat terobsesi dengan kekayaan dan kekuasaan, dan berani saling menghancurkan bila perlu. Tetapi, dia juga melihat bahwa ketika menghadapi musuh, orang-orang suku Hooligan adalah orang yang setia kawan.

Dimana Toothless, si bandel, naga Hiccup yang cerewet, malas, egois, dan tidak bisa diatur? Dia tetap setia mendampingi Hiccup ke mana-mana. Tidak seperti naga-naga lain, yang kesetian mereka pada majikan mereka sangat tergantung situasi dan kondisi, Toothless menunjukkan komitmen yang hampir tidak bisa dipercaya (kalau mengingat tingkah lakunya sehari-hari) kepada Hiccup di saat-saat bahaya datang. Pokoknya, Toothless, walau kadang manja dan menyebalkan, tetap tokoh paling adorable, deh!

Fishlegs, sobat Hiccup dan another loser dalam kelompok anak-anak suku Hooligan, sekali ini lebih banyak kiprahnya. Seperti Toothless, dia mengikuti Hiccup kemana saja Hiccup pergi, dan turut membantu (atau menyulitkan?) Hiccup.

Cerita lucu ini sebenarnya buku untuk anak, walau kata-kata dan perilaku para bajak laut di sini kurang pas buat dibaca anak-anak. Yah, bimbingan orang tua lah :) Gambar-gambarnya juga tetap lucu, garis-garisnya patah-patah seperti gambar anak-anak, dan huruf-hurufnya mencong-mencong. Banyak tetesan tinta di sana-sini, karena, after all, buku ini kan sebenarnya catatan harian Hiccup.

Buku diakhiri dengan pertanyaan terbuka untuk buku berikutnya. Jadi, ikuti terus petualangan Hiccup selanjutnya...

Raumanen



Marianne Katoppo
Metafor, Jakarta, 2006
ISBN 979 3019 28 X
131 halaman

Senang sekali ketemu buku ini di Gramedia. Cetakan ulang dari terbitan Gaya Favorit Press tahun 1977. Aku tertarik pada sampulnya (sayang aku belum sempat men-scan sampulnya), mencerminkan kesepian: sebuah pohon flamboyan di tengah padang. Mengingatkan pada salah satu adegan film My Sassy Girl yang sama-sama mencerminkan kesepian dan kesetiaan cinta: pohon di puncak bukit dimana kedua tokoh utama menyimpan time capsule. Nah, berarti Raumanen ini kisah cinta dong, ya? Padahal aku biasanya tidak suka kisah cinta.

Jakarta, awal tahun 60-an. Raumanen Rumokoi, gadis Manado, cantik, 18 tahun, mahasiswa hukum, aktivis pergerakan mahasiswa, bertemu dengan Hamonangan Pohan, jejaka Batak dari keluarga kaya, arsitek, di sebuah pesta di rumah seorang Profesor pelindung gerakan mahasiswa Kristen di Jakarta.

Manen berasal dari keluarga yang sangat mendukung ide ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, dan Manen bangga menjadi orang yang tidak lagi terbelenggu oleh kekolotan kesukuan yang menganggap suku yang satu lebih baik dari suku yang lain. Saudara-saudara Manen rata-rata menikah dengan orang dari suku lain. Berbeda dengan Monang, yang keluarga besar Bataknya sangat menjunjung tinggi kesetiaan pada nilai-nilai yang ditanamkan leluhurnya, mewajibkan mereka, terutama kaum prianya, untuk menikah dengan perempuan sesuku. Kepada Monang inilah Manen diperkenalkan.

Monang adalah jejaka playboy yang sebenarnya tidak sepikiran dengan ide kesukuan orang tuanya. Atau begitulah kira-kira menurut persangkaan Manen. Hubungan persahabatan antara mereka berubah menjadi hubungan cinta, walau Monang tetap mempertahankan reputasinya playboynya dengan tetap mempunyai hubungan dekat dengan perempuan-perempuan lain, tanpa malu-malu menutupinya dari Manen. Kecemburuan Manen hanya ditertawakannya. Bukan berarti Monang tidak serius. Dia bahkan memperkenalkan Manen kepada adik-adik perempuannya. Juga menyiapkan rumah untuk mereka berdua kelak. Manen mencoba menekan keraguannya dengan menyibukkan diri dalam kegiatan pergerakannya.

Kelanjutannya, sudah bisa ditebak. Manen hamil (bodoh amat sih). Dan ujungnya, juga bisa ditebak. Setiap orang yang tahu karakter keluarga Batak yang kolot, tentu tahu bagaimana kesudahan cerita ini. Apa yang terjadi pada Manen? Cerita dituturkan dalam 2 zaman, masa kini dan masa lalu. Yang masa kini ditandai oleh bab-bab yang diberi judul Manen atau Monang. Dengan demikian, dari awal, kita sudah bisa menduga apa akhir dari cerita ini. Spoiler? Mungkin. Klise? iya.

Cerita ini kental sekali dengan konsep kesukuan, yang ditulis dengan begitu deskriptif, membuat yang membaca benar-benar muak pada Monang. Seorang laki-laki, sudah berdiri sendiri, mencintai seorang gadis, tapi tidak punya kemauan dan terlalu pengecut untuk mempertahankan kemauannya, dikalahkan oleh prasangka buruk pada suku lain dan kesetiaan berlebihan pada sukunya. Dia memilih untuk menjadi martir, dan hidup terus mengasihani diri sendiri, didera penyesalan seumur hidupnya.

Sedangkan pada Manen, kita menjadi jatuh kasihan, sekaligus tidak setuju. Manen sebenarnya seorang yang rasional, tetapi harus tenggelam pada rasa bersalah, menyebabkan karakternya yang independen mengambil keputusan sendiri.

Walaupun kisah ini berlatar belakang zaman 60-an, tetapi masih sangat relevan pada masa sekarang. Keyakinan bahwa laki-laki tertua harus menikah dengan perempuan sesuku adalah hal sudah mendarah daging di kebanyakan keluarga Sumatera, dan para lelaki yang dipaksa kawin ini pun merasa ini adalah hal yang wajib dia lakukan, karena melawan kehendak orang tua berarti durhaka. Apa-apa yang dikatakan orang tua pasti benar, dan pasti baik kesudahannya. Berpuluh-puluh tahun ini sudah mereka
lakukan, dan keluarga mereka semua langgeng, walau tadinya tidak kenal dengan perempuan pilihan ibunya. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak. Lagipula, perempuan pilihan ibunya pasti cantik, atau kaya, atau pintar mengurus rumah tangga. Apa sulitnya bagi laki-laki untuk menikah dengan wanita mana pun? Yang penting punya anak. Yang akan dicekoki lagi nantinya kalau sudah besar dengan kekolotan yang sama. Melestarikan adat budaya. Dan omong-omong, ini tidak hanya terjadi pada orang Sumatera. Banyak suku yang masih berpegang teguh pada gaya perkawinan anak seperti ini. Anak dari suku lain tidak cukup baik untuk anaknya. Pada akhirnya, terjadi perkawinan hanya dengan orang dari dalam keluarga dekat, memunculkan gen-gen resesif yang buruk dalam keluarga. Ternyata, dengan hanya beberapa kasus yang merupakan perkecualian, cinta tidak bisa melawan tembok kesukuan, sampai sekarang. Orang-orang Indonesia belum menghayati semboyannya sendiri: Bhinneka Tunggal Ika.

Raumanen memenangkan sayembara penulisan novel dari Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975, Hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1978, dan South East Asian Write Award tahun 1982. Marianne adalah seorang teologis dan feminis. Henrietta Marianne Katoppo adalah adik bungsu Aristides Katoppo (eks pimpinan Sinar Harapan yang dibredel tahun, em, 1980-an, sobatnya Soe Hok Gie), ayahnya adalah Elvianus Katoppo, pejuang Manado pada waktu melawan Belanda, Menteri Pendidikan dan Agama Negara Indonesia Timur jaman RIS, dan kemudian menjadi pejabat Departemen P & K (Depdiknas jaman dulu).

Oya, salut untuk Metafor Publishing (kok situsnya sulit dibuka dari tempatku ya?). Bukunya apik, huruf-hurufnya kecil-kecil (aku suka), cetakannya bagus dan bersih. Terus terbitkan buku-buku sastra macam ini, ya :)

Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibeli dan dibaca.