Sunday, July 30, 2006

World eBook Fair

Menyela review buku untuk pengumuman yang berkaitan dengan ebooks.

World eBook Fair adalah hasil kerjasama Project Gutenberg, World eBook Library, DPP Store, Baen Books, QOOP, dan Ask.com, yang menyediakan 1/3 juta eBook gratis untuk didownload untuk kepentingan pribadi mulai 4 Juli sampe 4 Agustus 2006, dalam rangka memperingati ultah Project Gutenberg yang ke-35. Ada yang tersedia dalam format .txt, ada yang dalam .pdf, ada audiobook, ada .lit, ada .html, dan juga ada emovies, yang tersedia dalam >100 bahasa. Ada fiksi klasik & fiksi kontemporer berbagai genre dari berbagai negara, filsafat, budaya, data survey/sensus (untuk apaan sih ini hehehe), religion, politik, children's lit, CIA-related, ekonomi, sci & tech, sejarah, education, movies, transportasi, dan banyak lagi.

Project Gutenberg didirikan oleh Michael Hart pada tahun 1971 dan merupakan sebuah situs pembuat dan penyedia ebooks yang sudah lewat copyright-nya: mereka mencari, memilih dan memastikan suatu buku sudah lewat masa hak cipta, kemudian men-scan buku tersebut, dan memajangnya di internet untuk di-proof oleh para volunteer Project Gutenberg. Project Gutenberg menyediakan 18.000 ebooks gratis dalam format .txt dan .pdf.

World eBook Library, yang didirikan tahun 1996, menyediakan >300.000 ebooks dalam format .pdf. Untuk mendapat akses komplit, kita diminta membayar biaya langganan 8,95 dollar setahun. Murah, kan? Untuk akses gratis, disediakan 75000 lebih ebooks dalam format .html.

DPP Store adalah toko ebooks "dengan harga terjangkau", tetapi juga menyediakan free ebooks (diambil dari Project Gutenberg).

Baen Books, didirikan oleh Jim Baen (Alm) pada tahun 1984, pada awalnya adalah penerbit untuk buku-buku bergenre sci-fi dan fantasi, dan kemudian juga menyediakan buku dalam versi ebooks, dan merupakan salah satu penerbit yang menentang keras DRM. Mereka juga menyediakan beberapa ebooks gratis, semacam "icip-icip" dari para penulis yang tergabung dalam Baen Books, dan jangan kira hanya 1-2 bab saja, tapi 1 buku lengkap!

Sejak beberapa tahun lalu, aku mulai tergila-gila dengan ebooks, etexts, emags, scanlations, pokoknya segalanya yang berbentuk digital, bukan paper. Bukan berarti aku tidak lagi membeli buku "beneran" yang bisa disentuh: malahan sebaliknya, makin kemaruk hehehe...

Ebooks (dalam artikel ini, ebooks yang dimaksud termasuk juga yang ilegal) memang mempunyai kelebihan dibanding paper-books:

  1. tidak memakan tempat (dalam kehidupan nyata). Kalo memakan harddisk space sih iya, tapi berapa sih maksimal ukuran 1 ebook? Selemari besar buku tidak akan memenuhi 1 harddisk seukuran 40 GB, walau tergantung pada jenis file ebooks-nya.

  2. tidak bakal berdebu, tidak akan menguning/robek/hancur terbakar. Untuk yang terakhir ini, kecuali kalau tempat penyimpanan ebooks-nya rusak. Tapi untungnya ebooks bisa dikopi dan disimpan di banyak tempat: komputer, PDA, e-reader, flashdisk, harddisk eksternal, card, dan kalau Apple jadi mengeluarkan iPOD yang bisa baca ebooks, di iPOD juga.

  3. mudah dicari. Tinggal di-search aja judulnya, bisa langsung dapet. Kalau dibanding perpustakaan (pbooks) di rumahku yang bisa dibilang berantakan karena hanya dikelompokkan menjadi fiksi dan nonfiksi, bahasa Indonesia dan non-bahasa Indonesia, rada sulit juga mencari judul terntentu :D.

  4. kalo temen pengen baca juga, tinggal dikopikan (oke, ini ilegal kalo masih dalam copyright). Termasuk untuk teman yang lokasinya terpisahkan lautan, tinggal dikirimkan saja via email atau pake software P2P. Tidak akan ada lagi kemungkinan adanya rasa sebal pada teman karena teman merusak atau menghilangkan pbooks kesayangan kita. Juga meningkatkan kemungkinan "trading". Kalo pbooks kan suka sayang kalo ditukar dengan sesuatu yang tidak senilai.

  5. ada ribuan ebooks gratis di internet yang bisa didownload. Kalau yang ilegal dihitung, bisa berjuta-juta jumlahnya. Sampai mati pun tidak akan selesai membacanya.

  6. kalo belum masuk atau dilarang edar di Indonesia, atau kalo buku itu sudah tidak dicetak lagi, atau sulit dicari, tinggal request saja di forum-forum ebooks. Tanpa biaya.

  7. bisa men-"cicip"-i dulu sebelum beli. Kalo memang bagus, yang namanya manusia pasti punya hasrat memiliki. Kalo ternyata jelek, kan gak rugi beli.

  8. mudah dibawa ke mana-mana dalam jumlah banyak. Kita kan cenderung membaca beberapa buku sekaligus dalam satu waktu. Kalau bosen buku satu, bisa pindah baca yang lain. Apa? Kalian tidak? Oh, ok, mungkin aku saja yang punya short attention span.

  9. untuk buku yang harganya tidak rasional, apalagi orang Indonesia kan banyak yang tidak mempunyai penghasilan yang sebanding dengan hobi baca bukunya (percayalah, pendapat yang mengatakan bahwa orang Indonesia itu minat bacanya rendah adalah pendapat yang salah), bolehlah mendapatkannya via ebooks :)

  10. menghemat hutan. Tidak perlu menebang kayu untuk membuat ebooks.


Tentu ada kerugiannya (yang menurutku begitu remeh-temeh dibanding keuntungannya yang berlimpah-limpah):
  1. tidak seperti pbooks, ebooks memerlukan alat untuk membacanya. Sebuah komputer desktop biasa sudah cukup. Sekarang komputer sudah dimiliki hampir setiap keluarga yang punya anak usia sekolah. Tentu saja membaca ebooks di layar komputer besar itu kurang nyaman. Tetapi, semakin nyaman alatnya untuk membaca dan semakin portable, semakin mahal pula harganya.

  2. mata cepat lelah. Walau kalau dipikir2, membaca pbooks kelamaan mata juga jadi sakit, tapi memang membaca di layar komputer/PDA membuat sakitnya mata karena 2 hal: kedipan monitor dan kelamaan membaca. Tentu kalau e-reader yang katanya pakai teknologi E-Ink yang nyaman di mata sehingga serasa membaca buku "beneran" sudah tersedia secara komersial dan harganya sudah turun -mungkin perlu 10-15 tahun lagi- maka kerugian yang satu ini bisa diabaikan.

  3. ada macam-macam format yang memerlukan berbagai software pembaca ebooks yang berbeda pula. Sebagian besar software sudah dimiliki secara standar di komputer kita (buat yang pake OS Windows), seperti Notepad/Wordpad, MS Word, Adobe Acrobat Reader, browser, WinAmp, tapi beberapa format ebooks memerlukan software khusus, seperti MS Reader, Mobipocket, dan lain-lain. Belum kalo hardware yang dipakai adalah PDA atau e-reader, tambah ruwet lagi, karena masing-masing hanya mampu membaca ebooks/emags berformat tertentu.

  4. ebooks non-klasik harus dibeli, dan harganya mahal. Untuk ebooks yang didapat secara ilegal, well, sudah jelas, kita melanggar hukum. Ini bukan berarti aku kontra dengan ebooks ilegal hehehe... Aku memandang ebooks ilegal sebagai sarana promosi yang tidak disadari oleh para penulis buku. Para pembaca buku tetaplah manusia biasa, yang membutuhkan bau buku baru dan sentuhan kasar kertas untuk menjadi puas. Belum prestise yang dimiliki kalau bisa memamerkan koleksi buku-bukunya yang keren pada para kolega atau teman. Kalau mereka menganggap buku itu bagus sesudah membacanya via ebooks, mereka akan membelinya begitu punya duit. Aku dan beberapa teman juga menganggap situs penyedia ebooks ilegal sebenarnya adalah Robin Hood di bidang perbukuan. Mereka memungkinkan para masyarakat tidak mampu untuk memperoleh bacaan bermutu hehehe...

Sunday, July 23, 2006

Monster Mission


Eva Ibbotson
Diterjemahkan menjadi Misi Monster
Penerjemah Poppy Damayanti
Gramedia, Jakarta, 2005
ISBN 979 22 1627 8
312 halaman

Membaca buku satu ini benar-benar melelahkan. Untuk ukuran buku setipis ini (tulisannya besar-besar, lo), aku butuh sebulan baru selesai. Tapi itu mungkin juga karena aku sekaligus membaca buku-buku yang lainnya (kemaruk hehehe...).

Gambar depannya tidak begitu menarik, aku membeli buku ini hanya karena ada nama Eva Ibbotson di depan. Eva Ibbotson adalah penulis cerita anak kelahiran Austria (sekarang tinggal di Inggris). Bukunya yang paling kusuka adalah Which Witch? (diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia dengan judul Penyihir Mencari Istri), kocak banget!

Cerita dimulai dengan usaha 3 orang bibi, yaitu Bibi Etta, Bibi Coral, dan Bibi Myrtle, untuk menculik masing-masing 1 anak, untuk disiapkan menjadi "ahli waris" pulau mereka yang terpencil beserta hewan-hewan berbagai jenis yang ada di pulau tersebut. Usaha ini tercetus gara-gara mereka menonton TV (entah dari mana dapet sinyalnya, kan terpencil) dan melihat berbagai peristiwa buruk yang terjadi pada bumi, serta kepunahan berbagai flora dan fauna, penebangan hutan, pencemaran laut, dan macam-macam lagi. Mereka kuatir pulau berserta hewan-hewan langka yang mereka pelihara, dan mungkin juga diri mereka sendiri, akan segera punah. Hmm, belum-belum kisahnya sudah serasa menggurui. Baru awalnya saja, aku sudah yakin buku ini tidak akan seasik buku-buku Eva Ibbotson lainnya.

Bibi Etta berhasil menculik Minette, anak yang kesepian dari pasangan Danby yang sudah bercerai, yang merasa lelah harus bolak-balik berpindah-pindah tempat tinggal, kadang ikut ayahnya, kadang ikut ibunya. Bibi Coral menculik Fabio, anak laki-laki dari ayah berkebangsaan Inggris dan ibu dari Amerika Selatan. Ketika ayahnya meninggal, sesuai wasiat ayahnya, ia harus tinggal bersama kakek-nenek dari pihak ayahnya di Inggris, dan dididik dengan keras untuk menjadi pria Inggris yang terhormat. Sementara itu, Bibi Myrtle "terpaksa" menculik Lambert, putra tunggal Mr Sprott yang kaya raya.

Sesampai di pulau, Minette dan Fabio dengan segera menyesuaikan diri. Setelah merasa sebal beberapa saat gara-gara diculik dan kemudian diharuskan bekerja keras mengurus pulau dan hewan-hewan sakit dan sehat (kambing, sapi, ayam, itik, anjing laut, burung puffin, ubur-ubur, belut, dan lain-lain) di pulau, mereka kemudian mulai merasa kerasan, sehingga para bibi akhirnya menganggap mereka siap diperkenalkan pada hewan-hewan yang "tidak biasa".

Ada Ursula, Queenie, Loreen, Oona, Walter, para putri dan putra duyung yang datang ke pulau minta tolong setelah terjebak lapisan minyak di laut lepas. Ada Herbert dan ibunya, mereka adalah selkie, anjing laut yang dianggap sebagai penjelmaan manusia: mereka akan berubah menjadi manusia bila ditusuk dengan pisau, atau kembali menjadi anjing laut bila mendapat 7 tetes air mata di bawah sinar bulan. Kemudian juga burung boobrie yang hampir bertelur, tapi telurnya macet. Suami burung ini sangat pelupa dan sudah lama pergi meninggalkan istrinya. Kemudian ada Ethelgonda, hantu wanita pertapa yang baik hati penjaga pulau (Fabio berkata, "Kukira orang-orang baik tidak menjadi hantu.") Juga ada cacing stoor, naga tanpa sayap berbadan panjang ("sepanjang kereta api") dari Islandia yang suka memikirkan hal-hal prinsipil seperti "kemana perginya hari kemarin?" dan nafasnya sangat bau sehingga harus terus mengulum permen peppermint.

Bagaimana dengan Lambert? Anak manja ini terus berteriak-teriak meminta ponselnya, mengancam akan melaporkan mereka ke polisi, mengharapkan mereka semua "terbujur mati dalam genangan darah mereka sendiri", melempar-lempar makanan yang disediakan Art (koki, yang dulunya adalah pembunuh), tidak mau membantu yang lain membereskan pulau, dan histeris melihat makhluk-makhluk langka.

Sementara itu di London, akhirnya para orang tua, kakek-nenek, dan ayah menyadari bahwa anak/cucu mereka hilang, dan menurut keterangan yang diperoleh polisi, kelihatannya segerombolan bibi berwajah mengerikan yang menculik mereka. Hebohlah London, Perburuan Bibi dimulai. Orang-orang muali merasa melihat para bibi pembunuh di mana-mana. Seorang bibi yang mencoba mengusir lebah yang mencoba menyengat seorang bayi ditangkap karena dilaporkan berusaha "menusuk bayi dengan jarum rajut raksasa". Seorang bibi lain yang sedang mengajari keponakannya cara menendang bola ditangkap polisi gara-gara oleh saksi mata terlihat "menendangi kepala anak laki-laki yang tergeletak di rumput". Parlemen meminta adanya jam malam untuk para bibi. Surat kabar menuntut para bibi dipasangi alat elektronik.

Mr Sprott yang serakah dan kaya raya berusaha mencari anaknya sendiri dengan bantuan kapal besarnya. Hal ini bertepatan dengan kedatangan makhluk yang luar biasa ke pulau, seekor kraken beserta anaknya. Kraken adalah makhluk "ancient" yang berenang keliling dunia memelihara lautan dan seisinya dari kerusakan. Nyanyiannya, Senandung Agung, mampu menentramkan hati yang mendengarnya, dan mengurungkan niat para perusak laut.

Apakah Mr Sprott berhasil menemukan pulau terpencil tersebut? Perjalanan Mr Sprott menjadi kisah tersendiri yang kocak *grin* Apakah yang akan dilakukan Mr Sprott kalau melihat banyaknya hewan langka di pulau? Apa yang terjadi pada para bibi, Minette, dan Fabio? Bagaimana nasib kraken dan anaknya?

Berbeda dengan Roald Dahl, buku-buku Eva Ibbotson selalu berakhir dengan happy ending, bahkan kadang termasuk untuk tokoh jahatnya. Buku ini, ujungnya bisa ditebak. Walau aku tidak menyarankan untuk membeli buku ini, karena ceritanya biasa banget, tetapi untuk dibaca cukup lucu, kok, khas humor Eva Ibbotson, yang mengolok-olok prasangka dan keegoisan manusia.

Thursday, July 13, 2006

Pinokio


Carlo Collodi
Diterjemahkan dari Pinocchio: Tale of A Puppet
Diterjemahkan oleh Wiwin Indiarti
Illustrasi oleh William D Kuik
Liliput Jogjakarta, 2005
ISBN 9793813024
282 halaman

Siapa yang tidak tahu kisah Pinokio, salah satu dari classic children literatures yang paling terkenal? Sebegitu populernya, sehingga istilah hidung memanjang sudah dipahami sebagai berbohong. Sejak kecil kita sudah membaca atau menonton filmnya. Paparan pertamaku pada Pinokio adalah dengan buku cerita bergambar berukuran sebesar majalah. Gambarnya berwarna dan bagus sekali, sayang tidak tahu siapa penerbitnya (kelihatannya terjemahan), dan sekarang juga entah kemana raibnya buku itu. Yang jelas buku yang kubaca dulu berbasis pada Pinokio versi Disney.

Dari buku itu, aku kenal Pinokio sebagai boneka kayu yang baik hati, tetapi ditipu oleh pemilik sirkus Stromboli dan kemudian oleh serigala jahat Foulfellow dan kucing tolol Gideon, kemudian juga oleh orang (lupa namanya) yang membawanya naik kereta yang ditarik keledai (oh they are so adorable!) ke Pulau Kesenangan. Di rumah Geppetto, Pinokio tinggal dengan Jimini Jengkerik (makhluk keren berjas tuxedo, topi tinggi dan payung sebagai tongkatnya) yang oleh Ibu Peri dijadikan penjaga hati Pinokio, kucing bernama Figaro, dan ikan mas bernama Cleo, semuanya kemudian pergi bersama Geppetto mencari Pinokio, sampai tertelan oleh ikan paus. Di Pulau Kesenangan, Pinokio digambarkan memegang cerutu, berjalan di jalanan yang di sepanjang tepinya berjajar-jajar es krim raksasa (jaman dulu kan jarang bisa beli es krim, jadi dulu suka betul memandangi gambar ini) dan kue-kue raksasa. Pinokio banyak ditolong oleh Ibu Peri yang disebut Peri Biru. Peri ini pulalah yang kemudian mengubahnya menjadi manusia.

Tetapi bukan cerita indah seperti itu yang ada pada buku ini. Ternyata, buku Pinokio untuk anak-anak itu telah diadaptasi biar tidak terlalu menyedihkan. Bagaimanakah sebenarnya kisah Pinokio?

Cerita dimulai dengan seorang tukang kayu yang mendapatkan bahwa sepotong kayu yang akan dijadikannya kaki meja ternyata bisa berbicara. Tidak hanya itu, kayu itu juga bisa bergerak sendiri memukul tukang kayu dan Geppetto yang saat itu datang ke rumahnya, memicu perkelahian antara mereka. Kayu itu kemudian diberikan pada Geppetto untuk dijadikan boneka. Boneka yang kemudian diberi nama Pinokio itu sudah kurang ajar sejak awal: melotot, menertawakan, menjulurkan lidah, mengambil wig, menendang, melarikan diri, bahkan mengakibatkan Geppetto masuk penjara. Hidungnya sudah panjang (dan tidak bisa dipendekkan dengan memotongnya) sejak dibuat. Pinokio juga sangat malas. Janji-janji yang dibuatnya berkali-kali dilanggar.

Jimini Jengkerik adalah tokoh yang diperkenalkan dalam film oleh Walt Disney. Di buku ini, Jimini Jengkerik sebenarnya tidak punya nama, dan tidak berpakaian. Jengkerik itu berada dalam bentuk jengkerik yang sebenarnya. Dia muncul beberapa kali, sebagai penasihat, yang tak dipedulikan oleh Pinokio, bahkan dibikin gepeng olehnya dengan palu.

Walau Pinokio sebegitu menyebalkan, Geppetto tetap sabar dan baik padanya (aku tambah sebal). Mulai dari memberikan sarapannya untuk Pinokio, memasangkan kaki baru (kaki lama Pinokio terbakar waktu tidur dengan kaki terjulur ke perapian), menjual jaketnya satu-satunya untuk membelikan buku ejaan, dan macam-macam lagi. Pinokio malah membalasnya dengan menjual buku ejaannya demi menonton pertunjukan boneka.

Karena kebodohannya, Pinokio juga jatuh berulang kali ke tangan si jahat Rubah dan Kucing, yang menipu, mengambil uang, dan menggantung Pinokio di pohon. Ia juga diselamatkan berulang kali oleh Peri berambut biru (mulai dari wujud boneka kecil sampai wanita dewasa). Pendeknya, kekurangajaran, kenaifan, dan kemalasan Pinokio seakan tidak ada habisnya. Tapi pada akhirnya, sesudah mengalami banyak kesengsaraan, Pinokio yang pada dasarnya tidak jahat dan sebenarnya sangat menyayangi Geppetto, akhirnya memperoleh apa yang diinginkannya. Usaha kerasnya untuk menolong Geppetto dari perut ikan paus dan menyembuhkan Geppetto telah menjadikan dirinya pantas menjadi manusia yang sebenarnya, flesh and blood.

Sebegitu panjang, berbelit dan sarat realita brutal semua hal yang harus dialami Pinokio untuk menjadi manusia seutuhnya (caila...), tidak heran oleh media film untuk anak-anak dibuat lebih sederhana dan kurang sengsara dibanding aslinya. Bahkan, di edisi asli Pinokio (yang serial di majalah), cerita berakhir dengan Pinokio mati digantung. Tokoh Peri Biru baru dimunculkan ketika kisah Pinokio dibuat menjadi buku, dimana Peri Biru ini menyelamatkan Pinokio.

Untuk orang dewasa, buku ini terasa agak membosankan, karena kebodohan Pinokio yang serasa berlebihan. Jalan ceritanya terasa absurd. Bukan berarti aku tidak suka cerita yang absurd; Alice in Wonderland, Alice through Looking Glass, buku-buku Kobo Abe, semuanya absurd, tetapi nyaman dibaca. Pinokio ini terlalu berkepanjangan. Buku ini juga sarat dengan allegori dan nasihat.

Ilustrasi buku ini, yang dibuat oleh William D Kuik, agak aneh dan sulit dipahami. Ilustrasinya kadang seperti sketsa gambar untuk komik yang ditumpuk jadi satu. Jadi, misalnya untuk menggambarkan gerakan mengangkat tangan, ada sketsa ketika tangan masih belum diangkat, ketika tangan diangkat sedikit, lalu ketika tangan diangkat lebih tinggi lagi, dst, semua ditumpuk jadi satu. Creepy, kadang-kadang.

Carlo Collodi, aka Carlo Lorenzini (1826-1890), adalah jurnalis, penulis, dan pengamat pendidikan. Pinokio sebenarnya mempunyai judul asli Storia di un burattino (Kisah sebuah Boneka), dan awalnya ditulis secara berseri untuk mingguan anak Il Giornale dei Bambini. Pinokio, dalam bahasa Tuscany berarti "pine nut".

Ada 36 bab dalam buku ini dan judul-judul tiap babnya panjang dan jadi spoiler untuk cerita dalam bab tersebut, persis seperti cerita-cerita klasik jaman dulu. Tidak heran, buku ini pertama kali diterbitkan tahun 1883 di Italia, dan waktu itu buku ini laku 1 juta eksemplar, bayangkan. Ilustrator aslinya dibuat oleh Attilio Mussino, dan buku edisi pertama ini disebut-sebut sebagai buku anak dengan ilustrasi terbaik.

Pinokio telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 90 bahasa (katanya sih nomor 2 dicetak terbanyak sesudah Quran dan Injil) dan diadaptasi ke dalam 11 film berbahasa Inggris, belum yang dibuat dalam bahasa aslinya, Italia, dan bahasa-bahasa lain. Versi Walt Disney (1940) yang paling terkenal. Dalam versi ini, oleh Walt semua tokoh diubah habis-habisan, mulai penampilan sampai jalan cerita. Melihat Pinokio versi Walt Disney serasa melihat Mickey Mouse, hehehe...: pendek, pipi merah, hidung agak bulat, senyum cerah, pake sarung tangan lagi. Jengkrik dimunculkan sebagai Jimini yang lebih mirip manusia daripada serangga. Keluarga Lorenzini kelihatannya tidak begitu suka Pinokio diubah-ubah seperti ini, tetapi protes mereka diacuhkan. Film ini memenangkan Oscar untuk Best Song dan Best Score (tahu dong lagu When You Wish upon A Star, ini dinyanyikan oleh Jimini Jengkerik aka Cliff Edwards)?

Penerjemahan cukup bagus, kekakuan bahasa mungkin karena terjemahan dari buku klasik yang tata bahasanya memang kaku. Jadi, buat yang mau membeli buku Pinokio dalam bahasa Indonesia, bagus kok.

Sebagian informasi tentang pengarang diambil dari situs Pinokio.

Sunday, July 09, 2006

How to be A Pirate


Hiccup Horrendous Haddock III
Diceritakan kembali oleh Cressida Cowell
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Mutia Dharma
Little K, Bandung, 2006
ISBN 979 3659 64 5
248 halaman

Ini adalah buku kedua dari rangkaian (hopefully) catatan harian Hiccup Horrendous Haddock III, seorang pahlawan Viking dan Ahli Waris Tahta Stoick Agung dari suku Hooligan Berbulu, sesudah catatan hariannya yang pertama tentang How to Train Your Dragon diterbitkan. Tapi tentu saja catatan harian ini dibuat sebelum Hiccup menjadi pahlawan, pada waktu ia masih kecil. Buku ini dibuka dengan salah satu mata pelajarannya dalam Program Pelatihan Bajak Laut, yaitu Adu Pedang di Laut, dengan guru the-one-and-only Gobber the Belch.

Kalau kalian sudah baca buku pertama, kalian tentu tahu bahwa Hiccup adalah karakter yang sangat manusiawi. Hiccup hanyalah anak berusia 11 tahun dengan kemampuan kebajaklautan yang bisa dibilang nol, walau kelihatannya dia dianugerahi oleh kecerdikan, dan, erm, keberuntungan di saat-saat yang genting, selain kebaikan hati dan kesetiaan. Kemampuan kebajaklautan yang harus dimiliki oleh orang-orang Viking tercermin dalam daftar pelajarannya: Adu Pedang di Laut, Meludah, Dasar-dasar Pencurian, Menakuti Orang Asing, Teriakan Maut, Melatih Naga, Hinaan Tingkat Tinggi, Bola Bashy, Persenjataan, Perampokan, Kekejaman Tanpa Ampun, Corat-coret tanpa Guna, dan Mengejjja. Tak satu pun dikuasainya, sementara Snotlout, sepupunya yang berbadan besar dan meyakinkan, adalah yang nomor satu dalam semua mata pelajaran.

Jadi bisa terbayang bagaimana perasaan Hiccup di atas dek kapal di tengah badai dengan tangan memegang pedang pemberian ayahnya dan harus melawan Dogsbreath, yang tak kalah besar dari Snotlout. Tapi, seperti biasa, keberuntungan berpihak pada Hiccup: kapal terbalik, dan Hiccup kemudian harus berpegangan dengan sebuah benda terapung agar tidak tenggelam. Nah, benda inilah yang menjadi sebab-musabab terjadinya kisah dalam buku ini. Benda terapung itu adalah peti mati, yang di tutupnya tertulis bahwa itu adalah peti mati Grimbeard the Ghastly, kakek buyut Hiccup.

Grimbeard the Ghastly digambarkan sebagai bajak laut Viking yang ahli pedang. Suatu hari, Grimbeard tidak kembali dari salah satu ekspedisinya, dan dia hilang membawa harta karunnya yang kabarnya berlimpah-limpah. Itu terjadi 100 tahun yang lalu.

Dan sekarang, peti matinya berada di hadapan keturunannya, kepala suku Hooligan, Stoick the Vast. Walau jelas-jelas di tutup kotaknya tertulis "Awas! Jangan membuka peti mati ini!", rasa ingin tahu membuat peti mati itu akhirnya dibuka, memunculkan seseorang yang misterius bermana Alvin si Petani-Miskin-Tetapi-Jujur. Alvin membawa peta dan teka-teki yang menunjukkan lokasi harta karun Grimbeard. Peta dan teka-teki tersebut membawa para pahlawan Hooligan dan anak-anaknya bertualang ke pulau Tengkorak, tempat Skullions, naga berukuran tinggi lebih dari 3 meter yang buta, tuli, tidak bisa terbang, namun mempunyai indera penciuman yang sangat sensitif, serta mempunyai kebiasaan memakan apa saja yang ditemuinya. Para naga suku Hooligan dibawa, karena naga terkenal mampu membaui emas dan permata, walau terkubur jauh di dalam tanah.

Apakah petualangan mereka berhasil? Apakah ada harta di pulau itu? Dimana dan siapakah yang berhasil menemukan harta tersebut? Apakah mungkin Grimbeard the Ghastly yang terkenal bengis akan membiarkan orang-orang yang bukan pewaris aslinya mengambil hartanya begitu saja? Bagaimana mereka berhasil selamat keluar dari pulau Tengkorak tanpa diamuk oleh gerombolan Skullion?

Dalam petualangan kali ini Hiccup banyak belajar. Dia menemukan kemampuan yang tidak diduganya. Hiccup juga melihat bahwa ayahnya, dan kebanyakan Viking dewasa lainnya, sangat terobsesi dengan kekayaan dan kekuasaan, dan berani saling menghancurkan bila perlu. Tetapi, dia juga melihat bahwa ketika menghadapi musuh, orang-orang suku Hooligan adalah orang yang setia kawan.

Dimana Toothless, si bandel, naga Hiccup yang cerewet, malas, egois, dan tidak bisa diatur? Dia tetap setia mendampingi Hiccup ke mana-mana. Tidak seperti naga-naga lain, yang kesetian mereka pada majikan mereka sangat tergantung situasi dan kondisi, Toothless menunjukkan komitmen yang hampir tidak bisa dipercaya (kalau mengingat tingkah lakunya sehari-hari) kepada Hiccup di saat-saat bahaya datang. Pokoknya, Toothless, walau kadang manja dan menyebalkan, tetap tokoh paling adorable, deh!

Fishlegs, sobat Hiccup dan another loser dalam kelompok anak-anak suku Hooligan, sekali ini lebih banyak kiprahnya. Seperti Toothless, dia mengikuti Hiccup kemana saja Hiccup pergi, dan turut membantu (atau menyulitkan?) Hiccup.

Cerita lucu ini sebenarnya buku untuk anak, walau kata-kata dan perilaku para bajak laut di sini kurang pas buat dibaca anak-anak. Yah, bimbingan orang tua lah :) Gambar-gambarnya juga tetap lucu, garis-garisnya patah-patah seperti gambar anak-anak, dan huruf-hurufnya mencong-mencong. Banyak tetesan tinta di sana-sini, karena, after all, buku ini kan sebenarnya catatan harian Hiccup.

Buku diakhiri dengan pertanyaan terbuka untuk buku berikutnya. Jadi, ikuti terus petualangan Hiccup selanjutnya...

Raumanen



Marianne Katoppo
Metafor, Jakarta, 2006
ISBN 979 3019 28 X
131 halaman

Senang sekali ketemu buku ini di Gramedia. Cetakan ulang dari terbitan Gaya Favorit Press tahun 1977. Aku tertarik pada sampulnya (sayang aku belum sempat men-scan sampulnya), mencerminkan kesepian: sebuah pohon flamboyan di tengah padang. Mengingatkan pada salah satu adegan film My Sassy Girl yang sama-sama mencerminkan kesepian dan kesetiaan cinta: pohon di puncak bukit dimana kedua tokoh utama menyimpan time capsule. Nah, berarti Raumanen ini kisah cinta dong, ya? Padahal aku biasanya tidak suka kisah cinta.

Jakarta, awal tahun 60-an. Raumanen Rumokoi, gadis Manado, cantik, 18 tahun, mahasiswa hukum, aktivis pergerakan mahasiswa, bertemu dengan Hamonangan Pohan, jejaka Batak dari keluarga kaya, arsitek, di sebuah pesta di rumah seorang Profesor pelindung gerakan mahasiswa Kristen di Jakarta.

Manen berasal dari keluarga yang sangat mendukung ide ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, dan Manen bangga menjadi orang yang tidak lagi terbelenggu oleh kekolotan kesukuan yang menganggap suku yang satu lebih baik dari suku yang lain. Saudara-saudara Manen rata-rata menikah dengan orang dari suku lain. Berbeda dengan Monang, yang keluarga besar Bataknya sangat menjunjung tinggi kesetiaan pada nilai-nilai yang ditanamkan leluhurnya, mewajibkan mereka, terutama kaum prianya, untuk menikah dengan perempuan sesuku. Kepada Monang inilah Manen diperkenalkan.

Monang adalah jejaka playboy yang sebenarnya tidak sepikiran dengan ide kesukuan orang tuanya. Atau begitulah kira-kira menurut persangkaan Manen. Hubungan persahabatan antara mereka berubah menjadi hubungan cinta, walau Monang tetap mempertahankan reputasinya playboynya dengan tetap mempunyai hubungan dekat dengan perempuan-perempuan lain, tanpa malu-malu menutupinya dari Manen. Kecemburuan Manen hanya ditertawakannya. Bukan berarti Monang tidak serius. Dia bahkan memperkenalkan Manen kepada adik-adik perempuannya. Juga menyiapkan rumah untuk mereka berdua kelak. Manen mencoba menekan keraguannya dengan menyibukkan diri dalam kegiatan pergerakannya.

Kelanjutannya, sudah bisa ditebak. Manen hamil (bodoh amat sih). Dan ujungnya, juga bisa ditebak. Setiap orang yang tahu karakter keluarga Batak yang kolot, tentu tahu bagaimana kesudahan cerita ini. Apa yang terjadi pada Manen? Cerita dituturkan dalam 2 zaman, masa kini dan masa lalu. Yang masa kini ditandai oleh bab-bab yang diberi judul Manen atau Monang. Dengan demikian, dari awal, kita sudah bisa menduga apa akhir dari cerita ini. Spoiler? Mungkin. Klise? iya.

Cerita ini kental sekali dengan konsep kesukuan, yang ditulis dengan begitu deskriptif, membuat yang membaca benar-benar muak pada Monang. Seorang laki-laki, sudah berdiri sendiri, mencintai seorang gadis, tapi tidak punya kemauan dan terlalu pengecut untuk mempertahankan kemauannya, dikalahkan oleh prasangka buruk pada suku lain dan kesetiaan berlebihan pada sukunya. Dia memilih untuk menjadi martir, dan hidup terus mengasihani diri sendiri, didera penyesalan seumur hidupnya.

Sedangkan pada Manen, kita menjadi jatuh kasihan, sekaligus tidak setuju. Manen sebenarnya seorang yang rasional, tetapi harus tenggelam pada rasa bersalah, menyebabkan karakternya yang independen mengambil keputusan sendiri.

Walaupun kisah ini berlatar belakang zaman 60-an, tetapi masih sangat relevan pada masa sekarang. Keyakinan bahwa laki-laki tertua harus menikah dengan perempuan sesuku adalah hal sudah mendarah daging di kebanyakan keluarga Sumatera, dan para lelaki yang dipaksa kawin ini pun merasa ini adalah hal yang wajib dia lakukan, karena melawan kehendak orang tua berarti durhaka. Apa-apa yang dikatakan orang tua pasti benar, dan pasti baik kesudahannya. Berpuluh-puluh tahun ini sudah mereka
lakukan, dan keluarga mereka semua langgeng, walau tadinya tidak kenal dengan perempuan pilihan ibunya. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak. Lagipula, perempuan pilihan ibunya pasti cantik, atau kaya, atau pintar mengurus rumah tangga. Apa sulitnya bagi laki-laki untuk menikah dengan wanita mana pun? Yang penting punya anak. Yang akan dicekoki lagi nantinya kalau sudah besar dengan kekolotan yang sama. Melestarikan adat budaya. Dan omong-omong, ini tidak hanya terjadi pada orang Sumatera. Banyak suku yang masih berpegang teguh pada gaya perkawinan anak seperti ini. Anak dari suku lain tidak cukup baik untuk anaknya. Pada akhirnya, terjadi perkawinan hanya dengan orang dari dalam keluarga dekat, memunculkan gen-gen resesif yang buruk dalam keluarga. Ternyata, dengan hanya beberapa kasus yang merupakan perkecualian, cinta tidak bisa melawan tembok kesukuan, sampai sekarang. Orang-orang Indonesia belum menghayati semboyannya sendiri: Bhinneka Tunggal Ika.

Raumanen memenangkan sayembara penulisan novel dari Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975, Hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1978, dan South East Asian Write Award tahun 1982. Marianne adalah seorang teologis dan feminis. Henrietta Marianne Katoppo adalah adik bungsu Aristides Katoppo (eks pimpinan Sinar Harapan yang dibredel tahun, em, 1980-an, sobatnya Soe Hok Gie), ayahnya adalah Elvianus Katoppo, pejuang Manado pada waktu melawan Belanda, Menteri Pendidikan dan Agama Negara Indonesia Timur jaman RIS, dan kemudian menjadi pejabat Departemen P & K (Depdiknas jaman dulu).

Oya, salut untuk Metafor Publishing (kok situsnya sulit dibuka dari tempatku ya?). Bukunya apik, huruf-hurufnya kecil-kecil (aku suka), cetakannya bagus dan bersih. Terus terbitkan buku-buku sastra macam ini, ya :)

Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibeli dan dibaca.

Monday, June 26, 2006

The Shining


The Shining
by Stephen King
Signet Book, New York
ISBN 0 451 16091 6
447 pages

Like King himself said in one of his literally (not like some "short" stories he wrote, such as his "short" story collection Four Past Midnight) short story collection Everything's Eventual, a horror writer had to write at least one ghostly-room-in-the-inn story. Well, he succeeded doing that by writing 1408, it made me rather dizzy with its description. Now, The Shining is one book about a whole hotel going psycho.

Jack Torrance was an ex-alcohol addict who tried hard to make a living for his family, a wife Wendy, and a son he loved so much, Danny "Doc" Torrance. After unlucky experience with his previous job as a teacher on literature in some preparatory college (beat a kid almost to bloody death), and with his son (broke Danny's arm), and after a no-casualties accident (but an overturned bike, in the middle of the night) he had with his car, due to his drunk habit and his inability to control his emotion when he was under alcohol spell, he accepted a job as caretaker for Overlook Hotel for the whole winter when the hotel was closed temporarily.

Overlook Hotel was an old, elegant 4-stories hotel in a beautiful location in Colorado, right in the middle of a very big valley, with a background of tall mountains and pine forest. Lots of celebrities had stayed there, the Presidents Wilson, Harding, Roosevelt, Nixon; the Vanderbilts, the Rockefellers, Marilyn Monroe, Truman Capote, etc. From late October to April, the hotel was closed, since the winter were very cruel and the nearest town was 40 miles away, leaving the hotel isolated on its own when the snow started falling down. Jack and his family moved to the hotel and occupied a room in second floor. For Jack, this is like a holiday, since he was also a writer and had published several short stories, so the tranquility of the hotel could be a good environment for his writing.

The Overlook had some history of itself since it was built in 1907. It was sold several times and maintained by various persons. A lot had happened there, from great parties to bloody murder. Most of the bad things happened never reached the newspaper. A caretaker named Grady have killed his own family in the middle of the winter. A woman was dead in the bathtub. A mafia was shot in his suite. But, aside of Grady story, the Torrance family didn't know the darker part of the history. Except the 5-year old Danny.

Their parents had seen something different in Danny since he was small. He was very intelligent, and he seemed understand what they were thinking even when they didn't verbalize the words. Danny had an imaginary friend, Tony, which their parents thought was OK, because Danny had no friend his age. What the parents didn't know was that Tony sometimes showed things, mostly things in the future. Danny saw what Tony showed to him through unconsciousness, and sometimes when Tony showed not-so-nice-things, Danny even had convulsion, something really worried his parent. These not-so-nice-things started to come more often nearer their move to Overlook. And almost every night when they stayed in Overlook. Things Tony showed sometimes in the form of board with something written on it, which really exasperated Danny since he could not read yet. In his first weeks in Overlook, his parents was astonished to see him try very hard to learn to read. Danny also could speak in telepathy to people who had the same capability, read people's minds, "the shining", that's what Dick Hallorann, the cook, said.

Day by day, it seemed OK to live in Overlook. They had many things to entertain themselves: radio, kid playground, writing for Jack, cooking and knitting for Wendy, and sometimes go to Sidewinder, the nearest town. But when snow finally isolated them from the outside world, something changed: Jack. The hotel changed. It seemed that the hotel was alive and had a will of itself.

Jack, burdened with his longing of making his family happy, and haunted by his not-so-clean past, was the one who was easily affected by the old hotel. He was fascinated by it, and finally thought he wanted to stay there, forever. Whatever it takes. Even if he had to kill his beloved son.


This book is a real page-turner. You could not help falling in love with Danny, who desperately wanted his parents to be happy, especially his dad. He grew up early, had to deal with adult problems inside their parents' heads. The change in Jack was incredible, from a man who repent from his bad past, to someone unrecognizable, turned into the evil that maybe had been inside him from the beginning. You would also like the character of over-sixty-years-old Dick Hallorann, himself also "shining", the wise and the only clear-headed among them.

This book was made into movie in 1980 by Kubrick (8,4 from 10 by IMDB rating). Jack Nicholson as Jack Torrance, well, kinda predictable, don't you think? He has that crazy insanity about him. The movie did not really faithful to the book. The animal hedge was substituted with maze. Being Kubrick's movie, this movie must be very good. I have to find it and watch.

A must-have for King fans.

Thursday, March 30, 2006

Spring Snow

by Yukio Mishima
Translated from original title Haru no Yuki by Michael Gallagher
ISBN 4 8053 0327 1
Tuttle Publishing, Tokyo, 2000
389 pages

Spring Snow is the first book of the Mishima's masterpiece tetralogy Sea of Fertility. I don't know how it is in Japanese, but I bet it is even more beautiful than its translation. The story is told in vivid detail, you can see the garden of Matsugae family with its cherry blossoms, or the snow falling all the way to the Gesshu Temple when Kiyoaki shuffled through his illness to get to the temple to see Satoko, which I imagine is the most beautiful moment if it ever become a movie.

The Matsugaes was a rich samurai family who lived in an estate which mixed the culture of old Japanese and Western style. The estate was located in Tokyo, and the story is started around 1912 (after Russian-Japanese War), in the closed circle of the imperial court and ancient aristocracy.

Kiyoaki, the only son of Marquis Matsugae, has been sent to Count Ayakura family -a not-so-rich but aristocratic family- when he was still very small, to be raised together with an older daughter of the Ayakura family, Satoko, 2 years older than him, in the hope of learning the elegance of the Ayakuras. Contrary to his father's hope, Kiyoaki was grown into an overly-sensitive, melancholic, arrogant, and very handsome young man with no enthusiasm and no clear objective in life. His attitude to Satoko was torn between ignorant, hate, and affection. At 18, he didn't realize that he loved her, although he was sure that she loved him.

Meantime, Shigekuni Honda, his only best friend in school, was a totally different young man, a quiet, composed, rational person, and had made up his mind about his future (he was interested in law). In fact, the only person who find enlightenment in this story was seems to be Honda alone, and, though stubborn as he is, Kiyoaki eventually always turn to Honda for help. Although Honda was sometimes astounded by Kiyoaki's ignorance, he was very loyal to Kiyoaki and would help him whatever it takes.

The relationship between Kiyoaki and Satoko was getting closer with the help of Tadeshina, an old lady and Satoko's maid. They met secretly, since Kiyoaki wouldn't admit to anyone that he liked Satoko.

On the blossom festival in Matsugae estate, Kiyoaki and Satoko had a fight, and in her confusion, Satoko made up her mind to received one of the many wedding proposals offered to her. She accepted the best of all: Prince Harunori, the third son of His Imperial Highness Prince Toin. Kiyoaki, being arrogant, ignored the news and decided not to meet Satoko anymore. Satoko, who finally being rational again, tried to contact Kiyoaki through Tadeshina, but Kiyoaki paid no attention, until one day, the realization dawned on him that he did, in fact, love Satoko. And that was the beginning of the destruction of Kiyoaki. Kiyoaki and Satoko met secretly by the help of Tadeshina, and once, by the help of Honda. Near the betrothal ceremony, Satoko got pregnant. The end, as you guess, is tragic. Depressing. As depressing as the end of the life of Mishima himself: harakiri.

It's a love story, but not in a sentimental, teary-eyed style.
A must-read, worth to buy. Can't wait to read the second of the trilogy: Runaway Horses

Tuesday, March 28, 2006

How to Train Your Dragon

by Hiccup Horrendous Haddock III
Translated from Old Norse by Cressida Cowell
Translated to Indonesian by Mutia Dharma
Penerbit Mizan, 2006
254 halaman

Yepp, aku baca versi Indonesianya. Karena kalo beli versi aslinya pasti harganya keterlaluan untuk buku setipis ini (teringat harga serial A Series of Unfortunate Events atau Chronicles of Narnia). Covernya benar-benar menarik, itu di atas gambar over edisi aslinya.

Buku ini semacam autobiografi Hiccup Horrendous Haddock III, putra satu-satunya dan ahli waris Stoick the Vast, kepala suku Viking Hairy Hooligans. Dan semacam buku panduan yang lebih lengkap (dan jauh lebih panjang dan lebih berguna, if I may add) tentang naga dibanding buku karya Professor Yobbish (dengan judul sama) yang digunakan oleh Hiccup untuk melatih naganya. Hiccup yakin bahwa suatu hari, para naga akan bangkit lagi sesudah masa hibernasi mereka yang panjang di dasar laut, dan buku ini tentu akan sangat berguna.

Hiccup bukanlah tipikal pewaris tahta yang tinggi besar dan karismatik. Hiccup berbadan kecil, tidak pandai berkelahi, tidak pernah melakukan sesuatu yang mengesankan, tidak ambisius, and well, he hiccups. In short, he is not a hero, not yet.

Untuk menjadi anggota penuh sukunya, semua anak laki-laki Viking harus menjalani Ujian Penerimaan, yang terdiri dari menangkap anak naga langsung dari their nursery, melatihnya, dan menunjukkan pada para dewan juri kemampuan mereka memerintah naga2 tangkapan mereka. Dan itu adalah dimulainya hari paling memalukan bagi Hiccup. Sementara teman-temannya berhasil menangkap naga-naga keren seperti Naga Monstrous Nightmare (yang begitu keren sehingga hanya boleh ditangkap dan dipelihara oleh anak kepala suku), atau naga Gronckle yang mempunyai perlengkapan senjata berat, atau naga Cerewet, Hiccup hanya berhasil membawa Naga Kebun terkecil yang pernah ada yang bahkan belum tumbuh gigi.

Tidak cukup dengan itu, Toothless (nama si Naga tak bergigi) ternyata sangat menyebalkan dan tidak bisa diatur. oya, Hiccup mempunyai rahasia, yaitu kemampuan bicara bahasa naga (yang sangat memalukan di kalangan bangsa Viking, karena they are not supposed to TALK to their dragons, they are supposed to YELL at them, since dragons are known to be an egocentric creature yang tidak akan berhasil disuruh-suruh hanya dengan being talked to). Hiccup, yang sudah bertahun-tahun menyelidiki segala sesuatu tentang naga, telah menggunakan berbagai cara memotivasi naga (rasa terima kasih, ketakutan, keraksan, kesombongan, balas dendam, lelucon, teka-teki) untuk melatih Toothless untuk menuruti perintahnya, tetapi tidak berhasil.

Ketika tiba Thor'sday Thursday, hari Ujian Penerimaan untuk bertanding dan pamer siapa yang paling berhasil melatih naganya, Hiccup sadar bahwa ternyata harinya menangkap naga kemaren bukanlah hari terburuk dalam hidupnya. Apakah Hiccup akan berhasil lulus ujian atau dia harus dibuang meninggalkan sukunya? Baca sendiri :)

Mulanya aku pesimis dengan buku ini, karena terjemahannya tidak memuaskan, semua nama diterjemahkan sih, belum ceritanya yang kekanak-kanakan. Tapi setelah dibaca terus, asik juga: gambar-gambar dan caption yang childish (kelihatannya dibuat dengan tangan kiri or something), bercak-bercak tinta dimana-mana (ini kan sebenarnya catatan harian Hiccup), lembar-lembar yang dirobek dari buku Hiccup yang fenomenal "Naga-Naga Bangsa Viking dan Telur-Telur Mereka", replika buku "How to Train Your Dragon" karya professor Yobbish (very funny!), adanya tokoh nemesis Snotlout (sepupu Hiccup) yang jauh lebih besar dan kuat, dan tentu saja karakter Toothless sendiri (he is so adorable). Buku ini didedikasikan oleh Hiccup untuk Toothless :)

Nice book, buku anak-anak sih, tapi worth to buy lah.
Aku gak sabar pengen beli How to Train Your Viking by Toothless the Dragon.

Friday, March 03, 2006

The Bartimaeus Trilogy 2: The Golem’s Eye


Jonathan Stroud
Hyperion Books, New York, 2004
ISBN 0 7868 5681 5
562 pages (satisfyingly 100 hundred more than Book 1)

Like Book 1, I bought this in airport, but this time, I was too early (and on top of that, the flight was cancelled for 4 hours, damn!). The cover of the book showed a blue bull with a distinctive smirk, with impossible white curl on his forehead, and who is this demon? No other than the diabolical Bartimaeus himself.

This book caught up Nathaniel 3 years after the end of the event in Book 1. Nathaniel, or Mr John Mandrake, now 14, was highly positioned in politics, being ambitious as he usually was, helped by his deeds in Book 1. He was the Assistant to the Head of Internal Affairs (Mr Julius Tallow) and the golden boy of Jessica Whitwell (Security Minister), to whom he’s apprenticed, and Rupert Devereaux (Prime Minister). As I mentioned before in my review for Book 1, in the life ruled by magicians, you could never be safe because of the ever-paranoid-and-jealousy of the magicians, especially in the higher ranks of government; that’s what happened to Mandrake. Being very young, people around him were constantly waiting for him to slip.

Meanwhile, the “commoners” who unsatisfied with the arrogancy and privilege life of magicians, had aroused many problems for the government, by stealing the magical goods from magicians and used the goods against them. They were called themselves “The Resistance”, consisted of people who had some resilience to magic or some unusual talents like feeling the aura of magical goods and seeing the demons. One of the main character in resistance was a young girl named Kitty, to whom Bartimaeus had crossed path in Book 1. It was Mandrake’s job to take care of the Resistance thefts, which was proven not to be a simple one, and his failure of getting more insight into the group was starting to endanger his position. Besides of that, there were also other attacks by unknown monster, probably sent by the Resistance, or perhaps by another group who wanted to overthrow Britain, he had no idea.

Mandrake had to summon Bartimaeus once more, although he had promised not ever to sent for Bartimaeus again in the end of Book 1. Bartimaeus himself was definitely not pleased to see Mandrake, but because of his usual elegant curiosity and “conscience”, Bartimaeus was embarked again into another adventure that involved higher politics, his own memory of his ancient past in Prague, betrayal, tomb exploit, magical staff, and skeleton pogoing around London. We also will meet other colorful demons summoned by other higher magicians.

This time, the viewpoints of the story were not only from Nathaniel’s and Bartimaeus’, but also from Kitty’s. There were also revelation of Kitty’s past, to make us understand why Kitty chose Resistance as her career. Nat is as ambitious, arrogant, and self-indulged as ever; Bartimaeus is as witty, sarcastic, and troublesome, and we come to love him even more; while Kitty is also a unique character, frustrated and angry of his group and of the magicians. The first parts are rather slow-paced, but after the skeleton was surfaced, you will ready to leave your task aside to find out what will happen to Nat, the adorable Bartimaeus, and Kitty.

The unsatisfactory thing of Book 2 is that Bartimaeus is not given enough part, and I want more of his hilarious footnotes. After finished Book 2, I think there are a whole lot of things left to tell, and I can’t believe this series will be ended by Book 3. In the end, I believe it will be one-on-one duel between Nat and Kitty.

Buy this book, and enjoy. Can’t wait to buy the third book: Ptolemy’s Gate (funny cover!) This time, Bartimaeus holds nothing, but there are some lights and yellow dots come up from his hand. Ptolemy is an astronomer, so the next magical things probably will be related to astronomy.

The Bartimaeus Trilogy 1: The Amulet of Samarkand


Jonathan Stroud
Hyperion Books, New York, 2004
ISBN 0 7868 5255 0
462 pages

First of all, I want to say that I am lucky, because I bought this book in airport; at that time I was late already, people was already boarding, but I still made myself to breeze through Periplus, just in case. And my eyes caught by this smirky bluish gray face of a creature from a front cover. Without thinking, I took it, paid, and run to the plane (while thinking myself as a very dumb person indeed, buying things without reading the backcover or find out the review first). But then, turns out I am very very far from regret it. In fact, I recommend you to buy this series.

This trilogy is from fantasy genre.
Reading the beginning of the book made me sceptical, because it’s, again, about magicians. Harry Potter-ish. Could be a copycat.

I was wrong.
A magician, according to this book, achieved his ability not only by memorizing incantations, but he also needed the spirits to do his magics. There were 5 types of spirits who were “proper” enough to be summoned, one of them were the djinnis. Magician-to-be (apprentice) also didn’t achieve his abilities by studying in some boarding school like Hogwarts or Beauxbatons; instead, he had to be an apprentice one-on-one to a "master magician". He had to leave his parents (literally sold by their parents to the British government) to stay with their "master".

Now, there was this 11 years-old apprentice, Nathaniel, who was actually very intelligent, very talented, but not appreciated enough by his cowardly master, Arthur Underwood. Nat’s encounter with a young talented magician, Simon Lovelace (what a name), who abused him (physically) in public, had made him think of revenge (to the young magician, and, although he’d never acknowledged it, to his own master). With a rather unusual manner for an apprentice. Yepp, by summoning a fourth-level djinni named Bartimaeus. Who turned out to be not just an ordinary djinni. Turned out that this one creature, although bound to do anything the apprentice told him, were not as hushed-up as a djinni used to be, and not as easily controlled. Bartimaeus was the most indifferent, self-centered, articulate, sarcastic, witty, sophisticated, and hilarious djinni Nathaniel will ever met, who was not only annoying him, but would also help him a great deal in the near future. Bartimaeus was a djinni who had lived five-thousand years, and had served Solomon, Ptolemy, and even Hiawatha (bwahahaha!). In fact, "Bartimaeus is the main reason to read the book" (quoted from a friend). You can’t help falling in love to this djinni. The first order of Nathaniel to Bartimaeus had brought them accidentally into politic tangles in British government who was ruled by magicians (the Prime Minister himself was a magician). The “normal” human beings were called "commoners", who seemed didn’t like the magicians.

In the first parts, the story was written in alternately present and past style, to make us comprehend of Nat’s past. The story were also witten from 2 points of view, from Nathaniel’s (full of anger and frustation), and from Bartimaeus’ (sarcastis, full of contempt, and funny). Besides, the story is very “humane”, not really think of morale, that's what I mean. Good guys can also do wrong, sometimes. Obviously, this book is not for younger childrens. All the magicians in this book were so ambitious to overthrow each other. Interesting. Very humane.

Another attractive feature of this book is the self-serving footnotes, written by the djinni himself, for a reason he will reveal to you in the book. The story is full of actions, fast-pacing, and you will finished the book in one sit.

Conclusion: It’s funny, easy-to-read, and worth to buy. Can't wait to buy the next one and read more on Bartimaeus.

Emma


Jane Austen
Peacock Books, New Delhi, 2001
ISBN 81 248 0026 X
440 pages

Emma is the last book of Jane Austen (released in 1816), and said to be the most accomplished and representative work of her. For being classics, Jane Austen’s are sold in cheap price, and available through internet in the form of ebooks.

Emma Woodhouse, the protagonist, was an intelligent and pretty woman of 21, lived with her old, selfish, and easily-agitated father in Hartfield, a big and rich residence in a large village called Highbury. Her older sister Isabel was married to a rather-unsocial John Knightley, and lived with their 2 sons in London (sixteen miles off). The Woodhouses were respected by her neighbours and Emma’s words are highly appreciated. The family had a regular visitor and intimate friend, a 38-years-old Mr George Knightley, yepp, you’re right: he was the elder brother-in-law of Isabel, who lived a mile from Highbury, in Donwell Abbey. Mr George Knightley was the only one who sensible enough to see Emma’s faults and strong enough to told her about them. Emma thought very highly of herself, and very conscious of her level in society (I think it’s not uncommon at the time Miss Austen wrote the story, being in the 19th century). She liked to play matchmaking, after her first success with her own ex-governess and best friend Miss Taylor, who married a Mr Weston, a very nice man with good fortune. She embarked to the matchmaking of a new-found orphan friend Harriet to a Mr Elton, the vicar of Highbury. As for herself, she thought she would never want to marry, being satisfied with her present life, and because she can never leave her father who depend so much on her.

The coming of Frank Churchill, a son of Mr Weston from previous marriage, to Highbury, brought a colour to the uneventful life of Highbury, and highly anticipated by the ladies, because of his being very handsome and clever, and because of the fact that he never set his foot in Highbury for a very very long time. His coming also brought Emma deeper entwined into other people’s affairs, and, without being aware of this fault of hers, although she did all that for what-she-thought-as-goodwill, she has caused many awkwardness and misunderstaning in some of her friends. I will stop here so that I will not spoil the whole story. I can only say that, like other Jane Austen’s books, the protagonist will end up with the best man in the story, a very predictable, but satisfying end.

As usual with classics, you can expect difficult words and structures, but wholly, it is easy to read and funny (the irony and wittiness of Emma and the Knightley brothers), although rather tiring (being narrative, I finished it after 1 month, read it in-between ther books).

My conclusion: worth to read, worth to download (for you eboook readers), worth to buy (for you who need good books with cheap prices).

Saturday, January 21, 2006

Cinta 24 jam

Andrei Aksana
GPU, 2004
ISBN 979 22 1140 3
177 halaman

Lagi-lagi, karya Aksana lainnya. Pasti pada ngedumel, sudah tau gak bakal suka, kok dibaca juga? Lagi-lagi aku jawab, ini karena Adhie Nughie juga minjemin ni buku khikhikhi….. Let’s say that I want to give Aksana a second chance (seperti yang kulakukan untuk FirBas, dikasi kesempatan sampe 4 kali, lo!). Siapa tau, yang bukan Masterpiece-nya malah bagus.

Sampul: eksklusif lagi, keliatannya Gramedia meng-anak-emas-kan Aksana deh. Karena best seller itu kali, ya. Sekali ini warnyanya merah, dengan gambar kaki cewek, naked legs, of course, dalam gulungan kain merah (seprai, kayaknya). Warna merah, warna STOP yang bikin orang akan balik lagi untuk melihat-lihat. Dan gambar kaki yang akan menarik pembeli cowok.

Isi: Lagi-lagi tentang cinta terlarang. Sekali ini kisah cewek selebriti, bintang film papan atas, tepatnya, bernama Giana. Yang sudah kawin cerai tiga kali padahal masih muda (er, lupa berapa umurnya), maklum selebriti. Melihat berita-berita dalam acara gosip di tipi sore-sore (menemani makan sore yang telat habis pulang kantor), rupanya menjadi selebriti berarti sama dengan menjadi tumpul emosinya, melihat segalanya hanya pada permukaan, plus, menjadi tidak sabar menghadapi tantangan hidup, saking sudah terbiasa hidup nyaman.

Nah, si Giana ini tertantang dengan keangkuhan seorang fans cowok kaya (tak berwajah, hanya suara, tapi jelas kaya dari resto hotel yang dipilihnya) yang ingin bertemu dengannya. Biasa, cewek, makin diangkuhin, makin geregetan. Makin diperhatiin, makin ngelunjak dan serasa gak memerlukan. Jadilah Giana menunggu di resto. Berjam-jam. Tidak datang-datang juga sang fans. Tapi kelihatannya Giana tidak terganggu dan bahkan sudah lupa sama sekali. Karena, dasar dangkal, dia lebih tertarik dengan cowok metroseksual-keren-wangi-kaya-sombong (bernama Drigo, wadoh, namanya kok kayak gigolo ya) yang lewat di depan mejanya tanpa sekali pun melirik ke arahnya (padahal dia kan cantik dan bintang film). Mana cowok itu makan sendirian lagi. Alah, Giana bego, masak belum jelas juga itulah pasti cowok angkuh yang menelponnya? Yah, singkat cerita, Giana tahu-tahu sudah jatuh cinta saja sama cowok ntu, dan well, apa yang sudah kita duga bakal terjadi, terjadilah.

Cerita kemudian flashback ke masa lalu, menunjukkan masa lalu Giana (atau tepatnya ibunya) yang sebenarnya. Rada tragis, dan bego, IMHO. Cerita flashback ini nanti akan menjadi kunci untuk kejutan di akhir cerita. Dan, kali ini, kita tidak mengerti untuk apa ending begini. Untuk apa Drigo melakukan semua ini? Mungkin dia kelainan jiwa.

Gaya bercerita cukup menarik, bahkan lebih menarik daripada Lelaki Terindah, walau sama-sama dengan format prosa-puisi yang mengganggu itu, karena cerita dibuat bolak-balik, maju-mundur, mengajak kita memahami latar belakangnya.

Di bagian belakang, dipenuhi dengan komentar dari….. para eksekutif muda ya istilahnya, ya pokoknya orang-orang muda, mungkin teman-teman si pengarang, gak tahu sih buat apaan. Rata-rata mengagumi, katanya bahkan ada yang menangis membacanya (apanya yang sedih sih? Atau urat sedihku udah putus ya?). Juga ada komentar dari selebriti: Irgi, Wulan Guritno, dan siapa lagi, lupa. Mestinya komentar di sampul belakang buku akan lebih menjual kalo yang ngomentarin kritikus, walau pedas dan menghina, lah, kalo selebriti, mana menjual?

Oya, mengomentari foto-foto pengarangnya di sampul belakang bagian dalem: hiiiiiiiiii…. Dia narsis berat rupanya. Ada gambar dada juga! Ada juga dia pake baju yukensi pink. Ih! Malahan ada juga bukunya yang bergambar dirinya di depan.

Kesimpulanku: gak usah baca, gak usah beli. Hidup akan lebih simpel Tapi kalo maksa juga pengen baca, at least buku ini lebih baiklah daripada Lelaki Terindah.

Lelaki Terindah


Andrei Aksana
Gramedia, Jakarta, 2004
ISBN 979 22 0815 1
219 halaman

Heran ya kalian saya nulis dalam bahasa Indonesia, padahal barusan nulis dalam bahasa Inggris? Itu karena yang diomongin buku Indonesia.
Keheranan kalian satunya pastinya kenapa pula baca buku dengan gambar depan seperti ini? Pengarang Indonesia kontemporer lagi. Belum juga kena batunya? Yah, setelah baca Fira Basuki (4 biji), Dewi Lestari (buku 2), Jenar (3 biji), terus siapa itu pengarang Jomblo (lupa), aku sudah menyerah dan beranggapan memang kehebatan penulis fiksi populer Indonesia sudah berhenti pada jamannya Marga T. (Bahkan Marga T sendiri akhir-akhir ini kurang sukses, tulisannya semakin tidak masuk akal. Kalau mau tidak masuk akal, sekalian saja ambil genre yang twisted macam gitu). Lah kok malah curhat. Pertanyaan belum terjawab. Gini: kenapa saya baca buku Andrei Aksana? Karena Adhie Nughie yang nyuruh no offence, Di. Lagian, saya tertipu dengan tulisan: Masterpiece di sampulnya. Selain itu, katanya, dia cucunya Sanusi Pane, kalo gak salah nih.

Oke, kita mulai saja dari sampulnya: eksklusif, man. Dengan gambar yang mungkin dimaksudkan untuk menarik minat pembeli (cewek, atau cowok gay), tapi terus terang malah bikin ilfil: gambar dada cowok yang berotot, naked chest, of course, dalam warna abu-abu keemasan. Satu-satunya yang menarik adalah tulisan Masterpiece itu tadi. Kita kan kalo mau baca buku yang ditulis seorang pengarang, baiknya mulai dari masterpiece-nya, biar kagak kecewa, gitu.
Balik ke sampul. Eksklusif, hitam (warna favoritku), model sampulnya seperti sampul buku hardcover (padahal bukan). Harganya… emmm…. Berapa ya, bukan saya beli sih. Tapi keliatannya 65 ribuan kali. Cukup mahal. Soalnya ni buku dijual bersama CD lagu dan videoklip. Salah satu strategi penjualan (dia kan orang marketing). Kelihatannya dia sudah melakukan ini untuk buku-bukunya yang sebelumnya, hence dia disebut “The Singing Author”. Gak pernah liat vidklip dan dengar suaranya sih.

Sekarang the story: cukup mudah ditebak. Ada dua cowok, Valent (pilihan namanya saja sudah menjelaskan) dan Rafky, ketemu di pesawat ke Thailand (nah, jelas kan cerita ini tentang apa?). Valent is a gay. Rafky menyangka dirinya hetero, eh ternyata melihat Valent yang manis, malah ikutan gay juga. Yah apalagi kalo suasananya (baca: lokasinya) mendukung. IMHO, pada dasarnya manusia itu di dalam dirinya punya kemampuan untuk biseks, tinggal tergantung lingkungan dan superegonya. Dan kelihatannya homoseksualitas kurang bisa disembunyikan (dikendalikan) dan lebih meminta pengakuan dibanding heteroseksualitas. Cowok-cowok gay berkeras untuk menikah dan hidup bersama, sedangkan cowok-cewek selalu berusaha untuk menjauhi komitmen resmi.

Mereka berdua sudah punya cewek, Valent malah sudah mau nikah. Segalanya jadi runyam waktu balik ke Indonesia. Mulailah timbul masalah, mengingat hubungan sesama jenis bukan hal yang bisa diterima.

Cerita disusun dengan gaya campur-campur prosa dan puisi. Sesuatu yang manis, sebenarnya. Tiap beberapa paragraf prosa, ada beberapa baris puisi. Tetapi karena aku dari dulu paling tidak mengerti puisi (mampunya hanya memahami syair-syair pantun Melayu yang terdiri dari 4 baris a-b-a-b bersampiran, atau puisi isi yang tersurat jelas), dan karena rasanya puisinya kadang diusahakan keliatan “nyambung” dengan ceritanya (padahal enggak), maka gaya ini terasa sangat mengganggu kontinuitas cerita.

Seksualitasnya juga ditulis terlalu mendetil, sehingga agak membosankan, dilewatin berhalaman-halaman juga tidak berpengaruh. Penulisnya sama sekali tidak memberikan tempat untuk berimajinasi. Akan terasa lebih indah kalau ditulis secara halus dan samar-samar. Tapi mungkin juga kekurangnyamanan ini karena aku produk jaman yang berbeda dari sang pengarang *mengernyitkan dahi*

Cerita ini mungkin dimaksudkan untuk menyentuh perasaan pembaca, untuk membuat kita berpihak pada tokoh-tokoh utama. Hal yang gagal dilakukan. Tokoh Kinan (pacarnya Rafky) malah lebih “tidak cengeng” daripada kedua tokoh utama. Aku memang tersentuh, tapi justru tersentuh beberapa puisi cinta yang kebetulan cukup bisa dipahami dan menyentuh hati. Juga untuk yang baru putus cinta, kayaknya puisi-puisinya bakal terasa menarik, karena serasa senasib-sepenanggungan dengan sang tokoh.

Buku ini kabarnya laris sekali. Bisa dipahami sih. Menulis tentang gay, lesbianisme, dan seks bebas sebagai sesuatu yang jamak dilakukan, pada jaman sekarang ini sangat dipandang dengan tatapan menghujat (yang munafik), tetapi sangat menjanjikan, karena pasti laris. Ingat fenomena Jakarta Undercover, yang notabene sebenarnya hanya potongan-potongan siaran pandangan mata sang penulis di tempat-tempat begituan, ditulis dalam gaya bercerita koran seks & kriminal. Ada edisi 2-nya, lagi. Tidak mengerti kenapa sekarang penulis-penulis fiksi populer seperti berlomba-lomba untuk mengambil topik sekitar seks. Katanya sih karena ini jaman kebebasan berpendapat, bahkan ada yang menyebut ini jaman emansipasi wanita yang berani menyuarakan tentang seks, padahal dulu malu-malu. Hey, telat rupanya. Sejak jaman dulu, sebenarnya seksualitas sudah banyak ditulis oleh penulis wanita Indonesia. Cuma lebih halus saja cara berceritanya. Tak perlu mendetil, tapi tujuannya sampai.

Kesimpulan untuk buku ini: gak baca juga gak papa, apalagi beli.

Friday, January 20, 2006

Friends

Friends (translation from: Tomodachi)
A Play by Kobo Abe
Translated by Donald Keene
Charles E Tuttle, Tokyo, 1986
ISBN: 4 8053 0238 0
94 pages

I bought this book in 2005, I don’t remember where, in Periplus bookstore Jogja, or in Java Books stand in some book fair so frequently held in Jogja, with special price (Rp 35,000 from original price of Rp 119,600 -shudder-). Everybody knows I love Japanese books, which usually brought up unusual themes and strange twist of storyline, but especially I love any books written by Kobo Abe (real name: Kimifusa Abe), and I would buy anything written by him. He was a doctor (but not practiced medicine), a poet, a novelist, and a playwright. His stories were mostly bizarre, absurd, surreal, and preoccupied with what happened inside the mind of the main character, in meticulous detail. The main character usually would be destroyed, lose his identity, or alienated, or isolated. One of his books, Woman in the Dunes (Suna no onna), was adapted into a movie, and won Special Jury Award in Cannes Film Festival (all people know I love Cannes’ movies). I didn’t watch it yet, but by reading the original book, I wouldn’t be surprised the movie was succeded, being very very erotic. But Woman in the Dunes is not my favourite book of Kobo Abe. Secret Rendezvous is. An insane story.

Anyway, this Friends play was published for the first time in 1969 by Grove Press, and won the Tanizaki Jun’ichirĂ´ prize. This play is about the destruction of a young man by invasion of a strange family he never knew before, consisted of a grandmother, a mother, a father, three daughters and two sons. Until the end of the play, I don’t know what this family are about, are they just impostors trying to take advantage of the situation they created to drive the young man insane, or do they really have some higher, more noble objectives like they claimed in the Scene One: the angels of the broken necklaces, the messenger of love who heal the loneliness of lonely people. The lonely people are the little lost beads, while the family are the string who gather up those “poor” little beads.

This family intruded the young man’s apartment one night, claiming that the young man was lonely (which I don’t think he did, this young man had a fiancee, although he did have difficulty in communicating his feelings to the fiancee) and they would help him by living with him, and they told him that his preference to live alone was a behavioral deviation. The young man tried to ask them politely to leave, but they just didn’t budge. The young man threatened, and even really called the police, and the police DID come, but the family acted like a perfect family, so that the young man was the one who seems out of place in his own apartment. So, the young man decided to reconcile with them and let them had their way, but then they started meddling with his relationship with his fiancee. It was when the man started losing his mind and losing his identity.

Worth to read.