Marianne Katoppo
Metafor, Jakarta, 2006
ISBN 979 3019 28 X
131 halaman
Senang sekali ketemu buku ini di Gramedia. Cetakan ulang dari terbitan Gaya Favorit Press tahun 1977. Aku tertarik pada sampulnya (sayang aku belum sempat men-scan sampulnya), mencerminkan kesepian: sebuah pohon flamboyan di tengah padang. Mengingatkan pada salah satu adegan film My Sassy Girl yang sama-sama mencerminkan kesepian dan kesetiaan cinta: pohon di puncak bukit dimana kedua tokoh utama menyimpan time capsule. Nah, berarti Raumanen ini kisah cinta dong, ya? Padahal aku biasanya tidak suka kisah cinta.
Jakarta, awal tahun 60-an. Raumanen Rumokoi, gadis Manado, cantik, 18 tahun, mahasiswa hukum, aktivis pergerakan mahasiswa, bertemu dengan Hamonangan Pohan, jejaka Batak dari keluarga kaya, arsitek, di sebuah pesta di rumah seorang Profesor pelindung gerakan mahasiswa Kristen di Jakarta.
Manen berasal dari keluarga yang sangat mendukung ide ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, dan Manen bangga menjadi orang yang tidak lagi terbelenggu oleh kekolotan kesukuan yang menganggap suku yang satu lebih baik dari suku yang lain. Saudara-saudara Manen rata-rata menikah dengan orang dari suku lain. Berbeda dengan Monang, yang keluarga besar Bataknya sangat menjunjung tinggi kesetiaan pada nilai-nilai yang ditanamkan leluhurnya, mewajibkan mereka, terutama kaum prianya, untuk menikah dengan perempuan sesuku. Kepada Monang inilah Manen diperkenalkan.
Monang adalah jejaka playboy yang sebenarnya tidak sepikiran dengan ide kesukuan orang tuanya. Atau begitulah kira-kira menurut persangkaan Manen. Hubungan persahabatan antara mereka berubah menjadi hubungan cinta, walau Monang tetap mempertahankan reputasinya playboynya dengan tetap mempunyai hubungan dekat dengan perempuan-perempuan lain, tanpa malu-malu menutupinya dari Manen. Kecemburuan Manen hanya ditertawakannya. Bukan berarti Monang tidak serius. Dia bahkan memperkenalkan Manen kepada adik-adik perempuannya. Juga menyiapkan rumah untuk mereka berdua kelak. Manen mencoba menekan keraguannya dengan menyibukkan diri dalam kegiatan pergerakannya.
Kelanjutannya, sudah bisa ditebak. Manen hamil (bodoh amat sih). Dan ujungnya, juga bisa ditebak. Setiap orang yang tahu karakter keluarga Batak yang kolot, tentu tahu bagaimana kesudahan cerita ini. Apa yang terjadi pada Manen? Cerita dituturkan dalam 2 zaman, masa kini dan masa lalu. Yang masa kini ditandai oleh bab-bab yang diberi judul Manen atau Monang. Dengan demikian, dari awal, kita sudah bisa menduga apa akhir dari cerita ini. Spoiler? Mungkin. Klise? iya.
Cerita ini kental sekali dengan konsep kesukuan, yang ditulis dengan begitu deskriptif, membuat yang membaca benar-benar muak pada Monang. Seorang laki-laki, sudah berdiri sendiri, mencintai seorang gadis, tapi tidak punya kemauan dan terlalu pengecut untuk mempertahankan kemauannya, dikalahkan oleh prasangka buruk pada suku lain dan kesetiaan berlebihan pada sukunya. Dia memilih untuk menjadi martir, dan hidup terus mengasihani diri sendiri, didera penyesalan seumur hidupnya.
Sedangkan pada Manen, kita menjadi jatuh kasihan, sekaligus tidak setuju. Manen sebenarnya seorang yang rasional, tetapi harus tenggelam pada rasa bersalah, menyebabkan karakternya yang independen mengambil keputusan sendiri.
Walaupun kisah ini berlatar belakang zaman 60-an, tetapi masih sangat relevan pada masa sekarang. Keyakinan bahwa laki-laki tertua harus menikah dengan perempuan sesuku adalah hal sudah mendarah daging di kebanyakan keluarga Sumatera, dan para lelaki yang dipaksa kawin ini pun merasa ini adalah hal yang wajib dia lakukan, karena melawan kehendak orang tua berarti durhaka. Apa-apa yang dikatakan orang tua pasti benar, dan pasti baik kesudahannya. Berpuluh-puluh tahun ini sudah mereka
lakukan, dan keluarga mereka semua langgeng, walau tadinya tidak kenal dengan perempuan pilihan ibunya. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak. Lagipula, perempuan pilihan ibunya pasti cantik, atau kaya, atau pintar mengurus rumah tangga. Apa sulitnya bagi laki-laki untuk menikah dengan wanita mana pun? Yang penting punya anak. Yang akan dicekoki lagi nantinya kalau sudah besar dengan kekolotan yang sama. Melestarikan adat budaya. Dan omong-omong, ini tidak hanya terjadi pada orang Sumatera. Banyak suku yang masih berpegang teguh pada gaya perkawinan anak seperti ini. Anak dari suku lain tidak cukup baik untuk anaknya. Pada akhirnya, terjadi perkawinan hanya dengan orang dari dalam keluarga dekat, memunculkan gen-gen resesif yang buruk dalam keluarga. Ternyata, dengan hanya beberapa kasus yang merupakan perkecualian, cinta tidak bisa melawan tembok kesukuan, sampai sekarang. Orang-orang Indonesia belum menghayati semboyannya sendiri: Bhinneka Tunggal Ika.
Raumanen memenangkan sayembara penulisan novel dari Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975, Hadiah Yayasan Buku Utama tahun 1978, dan South East Asian Write Award tahun 1982. Marianne adalah seorang teologis dan feminis. Henrietta Marianne Katoppo adalah adik bungsu Aristides Katoppo (eks pimpinan Sinar Harapan yang dibredel tahun, em, 1980-an, sobatnya Soe Hok Gie), ayahnya adalah Elvianus Katoppo, pejuang Manado pada waktu melawan Belanda, Menteri Pendidikan dan Agama Negara Indonesia Timur jaman RIS, dan kemudian menjadi pejabat Departemen P & K (Depdiknas jaman dulu).
Oya, salut untuk Metafor Publishing (kok situsnya sulit dibuka dari tempatku ya?). Bukunya apik, huruf-hurufnya kecil-kecil (aku suka), cetakannya bagus dan bersih. Terus terbitkan buku-buku sastra macam ini, ya :)
Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibeli dan dibaca.
Sunday, July 09, 2006
Raumanen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
mengetest recent comments :)
Post a Comment