Saturday, January 21, 2006

Cinta 24 jam

Andrei Aksana
GPU, 2004
ISBN 979 22 1140 3
177 halaman

Lagi-lagi, karya Aksana lainnya. Pasti pada ngedumel, sudah tau gak bakal suka, kok dibaca juga? Lagi-lagi aku jawab, ini karena Adhie Nughie juga minjemin ni buku khikhikhi….. Let’s say that I want to give Aksana a second chance (seperti yang kulakukan untuk FirBas, dikasi kesempatan sampe 4 kali, lo!). Siapa tau, yang bukan Masterpiece-nya malah bagus.

Sampul: eksklusif lagi, keliatannya Gramedia meng-anak-emas-kan Aksana deh. Karena best seller itu kali, ya. Sekali ini warnyanya merah, dengan gambar kaki cewek, naked legs, of course, dalam gulungan kain merah (seprai, kayaknya). Warna merah, warna STOP yang bikin orang akan balik lagi untuk melihat-lihat. Dan gambar kaki yang akan menarik pembeli cowok.

Isi: Lagi-lagi tentang cinta terlarang. Sekali ini kisah cewek selebriti, bintang film papan atas, tepatnya, bernama Giana. Yang sudah kawin cerai tiga kali padahal masih muda (er, lupa berapa umurnya), maklum selebriti. Melihat berita-berita dalam acara gosip di tipi sore-sore (menemani makan sore yang telat habis pulang kantor), rupanya menjadi selebriti berarti sama dengan menjadi tumpul emosinya, melihat segalanya hanya pada permukaan, plus, menjadi tidak sabar menghadapi tantangan hidup, saking sudah terbiasa hidup nyaman.

Nah, si Giana ini tertantang dengan keangkuhan seorang fans cowok kaya (tak berwajah, hanya suara, tapi jelas kaya dari resto hotel yang dipilihnya) yang ingin bertemu dengannya. Biasa, cewek, makin diangkuhin, makin geregetan. Makin diperhatiin, makin ngelunjak dan serasa gak memerlukan. Jadilah Giana menunggu di resto. Berjam-jam. Tidak datang-datang juga sang fans. Tapi kelihatannya Giana tidak terganggu dan bahkan sudah lupa sama sekali. Karena, dasar dangkal, dia lebih tertarik dengan cowok metroseksual-keren-wangi-kaya-sombong (bernama Drigo, wadoh, namanya kok kayak gigolo ya) yang lewat di depan mejanya tanpa sekali pun melirik ke arahnya (padahal dia kan cantik dan bintang film). Mana cowok itu makan sendirian lagi. Alah, Giana bego, masak belum jelas juga itulah pasti cowok angkuh yang menelponnya? Yah, singkat cerita, Giana tahu-tahu sudah jatuh cinta saja sama cowok ntu, dan well, apa yang sudah kita duga bakal terjadi, terjadilah.

Cerita kemudian flashback ke masa lalu, menunjukkan masa lalu Giana (atau tepatnya ibunya) yang sebenarnya. Rada tragis, dan bego, IMHO. Cerita flashback ini nanti akan menjadi kunci untuk kejutan di akhir cerita. Dan, kali ini, kita tidak mengerti untuk apa ending begini. Untuk apa Drigo melakukan semua ini? Mungkin dia kelainan jiwa.

Gaya bercerita cukup menarik, bahkan lebih menarik daripada Lelaki Terindah, walau sama-sama dengan format prosa-puisi yang mengganggu itu, karena cerita dibuat bolak-balik, maju-mundur, mengajak kita memahami latar belakangnya.

Di bagian belakang, dipenuhi dengan komentar dari….. para eksekutif muda ya istilahnya, ya pokoknya orang-orang muda, mungkin teman-teman si pengarang, gak tahu sih buat apaan. Rata-rata mengagumi, katanya bahkan ada yang menangis membacanya (apanya yang sedih sih? Atau urat sedihku udah putus ya?). Juga ada komentar dari selebriti: Irgi, Wulan Guritno, dan siapa lagi, lupa. Mestinya komentar di sampul belakang buku akan lebih menjual kalo yang ngomentarin kritikus, walau pedas dan menghina, lah, kalo selebriti, mana menjual?

Oya, mengomentari foto-foto pengarangnya di sampul belakang bagian dalem: hiiiiiiiiii…. Dia narsis berat rupanya. Ada gambar dada juga! Ada juga dia pake baju yukensi pink. Ih! Malahan ada juga bukunya yang bergambar dirinya di depan.

Kesimpulanku: gak usah baca, gak usah beli. Hidup akan lebih simpel Tapi kalo maksa juga pengen baca, at least buku ini lebih baiklah daripada Lelaki Terindah.

No comments: